Liputan6.com, Seoul - Pasukan elite Navy SEAL, yang masyhur setelah berhasil menyerbu dan menewaskan buron teroris nomor wahid, Osama Bin Laden pada 1 Mei 2011, kini berada di Korea Selatan.
Mereka sedang melakukan 'operasi latih lapangan', di tengah meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara.
Advertisement
Baca Juga
Media Korea Selatan mengklaim, Seal Team 6 menjadi bagian dari latihan militer Foal Eagle and Key Resolve yang digelar pada 7 Maret hingga 30 April 2016 di Korsel.
Pihak militer AS tidak mengonfirmasi laporan tersebut. Mereka hanya mengatakan, "angkatan darat, udara, dan laut, serta operasi khusus ikut ambil bagian dalam sejumlah operasi latihan lapangan gabungan," demikian dikutip dari News.com.au, Rabu (12/4/2017).
Setidaknya ada 17.000 personel militer yang dilibatkan dalam operasi tersebut.
Pasukan khusus lain juga diduga ambil bagian dalam latihan gabungan di Korsel, termasuk Army Rangers, Delta Force, dan Green Berets.
Latihan tersebut dilakukan satu hari setelah AS menempatkan sistem anti-rudal balistik Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Semenanjung Korea.
Media Korsel, JoongAng Daily mengklaim, Navy SEAL akan berpartisipasi dalam latihan simulasi penggulingan Kim Jong-un dari tampuk kekuasaan rezim Pyongyang.
Namun, hal tersebit dibantah oleh mantan Komandan Angkatan Laut AS Gary Ross.
"Ada banyak Special Operations Forces (SOF) yang berpartisipasi dalam (latihan tempur) Foal Eagle, seperti yang biasa dilakukan dalam latihan regional," kata dia.
"Foal Eagle adalah latihan rutin yang dijadwalkan tahunan, yang menjadi puncak dari perencanaan selama berbulan-bulan, bukan diarahkan untuk merespons situasi terkini di Semenanjung Korea," tambah dia.
Â
Menangkal Rudal Korut
Latihan militer Foal Eagle and Key Resolve dilakukan sehari setelah Amerika Serikat mengerahkan sistem pertahanan anti-rudal THAAD ke Korsel -- di tengah meningkatnya ketegangan dengan Pyongyang.
Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) adalah sistem 'hit to kill' -- menyerang untuk membunuh -- yang menyediakan kemampuan untuk mencegat rudal dan mempertahankan area dengan populasi besar di seluruh dunia.
Perusahaan pembuatnya, Lockheed Martin mengklaim, sistem tersebut memiliki rasio kesuksesan 100 persen.
"Merupakan salah satu sistem pertahanan rudal paling canggih di dunia," demikian deskripsi Lockheed Martin soal THAAD.
Cara kerjanya menggunakan radar untuk mendeteksi ancaman dan menembakkan pencegat dari peluncur yang dipasang di truk -- yang tujuannya menghancurkan misil dengan energi kinetik.
AS mengklaim, THAAD adalah murni untuk pertahanan. Namun, proses penempatannya di Semenanjung Korea bikin Rusia dan China marah.
Sejumlah protes pun digelar di Korsel. Para demonstran menuding, sistem anti-rudal itu berkontribusi meningkatkan militerisasi di Semenanjung.
China mengklaim, radar yang dipasang di THAAD menjangkau wilayahnya dan bisa digunakan secara 'agresif'.
Menlu China, Wang Yi sebelumnya mengatakan, sistem tersebut bisa mengancam, "kepentingan keamanan China sebagai sebuah negara yang sah."
Respons Agresif Korut
Badan Pertahanan Rudal AS atau US Missile Defence Agency mengatakan, THAAD memberikan pertahanan yang penting untuk menghadapi 'provokasi' uji nuklir dan peluncuran rudal Korut yang kian intensif sejak 2016.
Pyongyang telah mengembangkan uji coba senjatanya dari segi ukuran, kecanggihan, dan daya jelajah dalam beberapa tahun terakhir.
Dikhawatirkan negara yang dipimpin Kim Jong-un tersebut bersiap meluncurkan rudal yang menargetkan Jepang, Korsel, atau wilayah teritorial AS.
Korut belakangan mengatakan, kemampuan nuklir adalah satu-satunya cara untuk mengamankan negaranya.
Korut diyakini memiliki 10-20 rudal nuklir dan ratusan misil Scud dan No Dong -- yang bisa mencapai Korsel dan Jepang.
Korea Utara juga diyakini memiliki stok bahan kimia berbahaya, ditambah lagi dengan jaringan terowongan rahasia yang bisa digunakan dalam perang.
Ketegangan global meningkat menyusul serangan rudal AS ke Suriah --yang menegaskan bahwa Pemerintah Donald Trump tak menoleransi penggunaan senjata kimia.
Washington DC juga mengirimkan armada perang di perairan Korut sebagai unjuk kekuatan.
Apa yang dilakukan AS memancing respon agresif Korut. "Amerika Serikat akan sepenuhnya bertanggung jawab atas konsekuensi bencana yang akan diakibatkan tindakan keterlaluan mereka," demikian kata juru bicara Pyongyang.
"Apa yang terjadi di Suriah sekali lagi menjadi pelajaran pahit...bahwa sebuah negara hanya bisa mempertahankan diri dari agresi imperialis hanya jika mereka punya kekuatan mandiri."
Â
[vidio:Live Streaming Debat Pamungkas Pilkada DKI 2017]()
Advertisement