Liputan6.com, Yerusalem - Ranjau darat adalah ancaman tersembunyi yang masih membunuh dan mencederai orang-orang tak bersalah bahkan lama setelah konflik telah selesai.
Menurut laporan Landmine Monitor 2016, penggunaan ranjau darat memang telah jauh berkurang setelah hadirnya Perjanjian Pelarangan Ranjau 1997.
Tapi, pada 2015, korban ranjau darat secara global telah mencapai angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir dan pendanaan telah terpuruk hingga angka terendah dalam satu dekade terakhir juga
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari New Atlas pada Rabu (12/4/2017), sistem baru pencarian lokasi ranjau darat dan amunisi belum ledak yang menggunakan bakteri berpendar dapat membalikkan keadaan.
Teknik pencarian ranjau sekarang melibatkan manusia yang secara fisik benar-benar masuk ke ladang bahan peledak yang tertanam itu.
Ini jelas berbahaya, memerlukan waktu lama, dan perlu banyak tenaga kerja.
Dalam setahun belakangan telah ada upaya untuk memanfaatkan fakta adanya kebocoran zat kimia peledak (mesiu) ke tanah sekitar ranjau yang kemudian diserap oleh tetumbuhan.
Perubahan pada daun-daun pohon karena penyerapan zat kimia itu bisa dideteksi dengan drone pencitraan hiperspektral (melihat segala warna) sehingga bisa menjadi penanda tempat keberadaan ranjau di bawah permukaan.
Pendekatan baru yang dilakukan oleh Hebrew University di Yerusalem menggunakan pendekatan yang mirip, namun bakterilah yangi dipakai sebagai penanda, bukan tanaman.
Para peneliti melakukan rekayasa genetik pada bakteri agar berpendar di bawah sorotan laser ketika ada uap zat kimia mesiu menyeruak dari ranjau darat.
Bakteri itu ditempelkan pada manik-manik kecil berbahan polimer yang kemudian ditebarkan di kawasan yang diduga penuh ranjau darat. Kemudian sistem pemindai laser melakukan pemindaian di daerah itu untuk mendeteksi lokasi ranjau darat yang terkubur di bawah permukaan.
Tim peneliti sudah mencoba sistem tersebut di lapangan uji dengan beberapa ranjau darat sungguhan yang ditanamkan di sana. Menurut para peneliti, mereka untuk pertama kalinya berhasil mendemonstrasikan sistem deteksi ranjau darat fungsional.
Dari jarak jauh mereka berhasil memindai lapangan itu dan menentukan lokasi ranjau-ranjau. Namun demikian, masih ada beberapa hal yang harus dilakukan agar teknologinya lebih praktis.
Profesor Shimshon Belkin yang melakukan rekayasa genetik pada bakteria mengatakan, "Data lapangan menunjukkan bahwa sensor bio hasil rekayasa dapat berguna dalam sistem deteksi ranjau darat."
"Supaya hal itu dimungkinkan, ada beberapa tantangan yang harus diatasi, misalnya meningkatkan kepekaan dan kestabilan bakteri sensor, memperbaiki kecepatan pemindaian agar mencakup kawasan yang lebih luas, dan membuat ringkas perlatan pemindainya agar bisa dipasang pada pesawat nirawak ringan maupun drone."
Penelitian tim tersebut terbit dalam jurnal Nature Biotechnology.