Liputan6.com, Moskow - Salah satu musuh paling ditakuti dalam perang adalah penembak jitu atau dikenal dengan nama sniper.
Mereka dapat menarget musuh dalam jarak jauh dengan keakuratan tinggi. Hal itu lah yang membuat mereka dibenci sekaligus ditakuti.
Kata sniper berasal dari kata perburuan burung sniper di India pada 1770-an. Burung tersebut terkenal akan penyamarannya yang hampir sempurna dan pola penerbangan yang tak menentu.
Advertisement
Menembak burung itu adalah hal menantang dan hanya penembak jitu terbaik yang berhasil. Kata sniper baru digunakan di dunia militer sampai tahun 1820-an.
Secara tradisional, tugas sniper diisi oleh laki-laki. Di Eropa Barat dan Amerika Utara, perempuan pun tak ditugaskan untuk langsung terjun ke medan perang.
Namun hal itu berubah setelah Perang Dunia II. Negara yang terlibat perang menyadari bahwa mereka harus mengubah pandangan tradisional soal peran perempuan.
Perlahan-lahan perempuan mulai masuk ke dunia industri saat laki-laki dipanggil ke medan perang. Tahap selanjutnya, perempuan mulai bergabung dalam pertempuran.
Hal itu juga terjadi ketika Jerman meluncurkan Operasi Barbarossa dan menginvasi Uni Soviet. Kala itu pasukan dari pihak Soviet, Tentara Merah, mengalami kekalahan besar baik dari personel dan peralatan.
Dikutip dari The Vintage News, Jumat (14/7/2017), saat itu para pejabat militer menyadari bahwa mereka harus mengubah pandangannya atas peran perempuan dan merekrutnya ke dalam militer.
Diperkirakan sekitar 800.000 perempuan direkrut dan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai perawat, sopir, koki, atau juru tulis. Namun sebanyak 2.000 orang terpilih ditunjuk untuk melakukan tugas mematikan, yakni sebagai sniper.
Mayor Jenderal Morozov mengatakan, para pejabat Rusia meyakini bahwa perempuan lebih sabar, berhati-hati, dan penuh pertimbangan karena mereka miliki tangan yang lebih kecil dan lembut dibanding laki-laki. Hal itu membuatnya dapat menarik pelatuk lebih baik.
Banyak dari mereka menjadi sniper yang ditakuti. Mereka menargetkan perwira dan komandan lapangan Jerman, sehingga membuat mereka tak memiliki pemimpin.
Salah satu penembak jitu paling mematikan dan ditakuti adalah Lyudmila Pavlichenko. Perempuan kelahiran Kiev itu mulai tertarik dengan senjata api saat tetangganya pamer akan kemampuan menembaknya. Rasa kompetisi dalam dirinya pun muncul dan mulai belajar menggunakan senapan.
Selanjutnya: Sniper cantik terjun ke zona perang...Â
Â
Saksikan video menarik berikut ini:
Sniper Cantik Terjun dalam Perang
Ketika invasi Jerman dimulai, Pavlichenko sedang mengambil master di bidang sejarah di University of Kiev. Ia pun dengan segera meninggalkan studinya dan mendaftar menjadi tentara.
Awalnya tentara Soviet mencoba merekrut Pavlichenko sebagai perawat, namun ia bersikeras untuk ikut berperang. Ia kemudian dikirim ke sebuah bukit kecil yang dikuasai Tentara Merah. Di sana ia diberi sebuah senapan dan diperintahkan untuk menembak dua warga Romania yang berada di kubu Jerman.
Pavlichenko berhasil menembak kedua target itu dari kejauhan dan berhasil melumpuhkannya. Tak perlu banyak pertimbangan, ia pun dikirim untuk bergabung ke 25th Chapayev Rifle Division.
Pavlichenko bertugas di Odessa dan Moldavia sebelum dikirim ke Sevastopol. Kemampuannya yang hebat membuatnya dijuluki 'Lady Death'.
Ia sering ditugaskan dalam counter-sniping, salah satu tugas paling mematikan. Dalam peran itu, ia memilih sniper Jerman dan berduel -- yang bisa berlangsung hingga beberapa hari.
Dalam waktu kurang dari satu tahun tugas tempur, ia tercatat telah membunuh 309 orang, termasuk 36 sniper Jerman -- yang kala itu dikuasai Nazi. Angka tersebut menjadikannya salah satu penembak jitu paling mematikan dalam sejarah perang.
Setelah terluka empat kali, ia ditarik dari garis depan untuk melatih penembak jitu baru dan melakukan tur ke Amerika, Kanada, dan Inggris untuk mempromosikan upaya tersebut.
Saat tur di Amerika bersama Eleanor Roosevelt, ia merasa frustasi saat terus dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan 'klise', seperti apakah ia mengenakan make up ketika bertempur atau pandangannya atas mode atau gaya rambut untuk personel militer.
Awalnya ia menanggapinya dengan baik, namun semakin lama kesabarannya habis. Pavlichenko merasa bahwa dia dipandang sebagai hal aneh dan subyek berita utama dalam surat kabar.
Dalam sebuah pidatonya di Chicago, AS, pada 1942, ia berkata, "Tuan-tuan, umur saya saat ini 25 tahun, dan saya telah membunuh 209 fasis. Tidakkah Anda berpikir, tuan-tuan, bahwa Anda telah bersembunyi di balik punggung saya terlalu lama?"
Dalam Sekembalinya dari Rusia, Pavlichenko diberikan penghargaan Hero of Soviet Union, yakni penghargaan tertinggi. Ia pun dipromosikan menjadi mayor.
Ia masih melanjutkan melatih para sniper selama berperang. Ketika Perang Dunia II usia, ia kembali melanjutkan studinya untuk menyelesaikan jenjang master.
Sepanjang hidupnya, ia bekerja sebagai seorang sejarawan.
Advertisement