Ini 4 Alasan Perang Dunia III Mungkin Terjadi pada 2017?

Dari berbagai contoh, berikut 4 alasan yang membuat Perang Dunia III mungkin terjadi pada 2017.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 01 Agu 2017, 19:17 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2017, 19:17 WIB
Mosul
Polisi Irak berjalan sambil berbicara dengan rekannya menggunakan radio saat bertempur melawan militan ISIS di barat Mosul, Irak, 16 Maret 2017. (AP Photo/Felipe Dana)

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang 2017 ini, telah terjadi sejumlah peristiwa besar yang mengguncang dunia. Mulai dari serangan teroris di berbagai kota besar mancanegara, ditambah lagi dengan berbagai peningkatan tensi politik dan militer di penjuru dunia.

Selain itu, ancaman nuklir Korea Utara di kawasan Asia Timur dan kekhawatiran akan serangan balasan dari Amerika Serikat ke negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu semakin meningkatkan ketakutan akan konflik bersenjata berskala besar.

Dan mungkin saja, pada 2017 ini, dunia bisa berada dalam situasi yang lebih berbahaya dari pada saat Perang Dunia II atau Perang Dingin antara Uni Soviet versus Amerika Serikat. Atas sejumlah alasan itu, sebagian orang mulai mengkhawatirkan mengenai ancaman Perang Dunia III yang seakan nampak semakin nyata.

Dari berbagai contoh, berikut empat alasan yang membuat Perang Dunia III mungkin terjadi pada 2017, seperti yang Liputan6.com rangkum dari The Sun, Selasa (1/8/2017).

Saksikan juga video berikut ini

1. Situasi di Suriah

Anggota pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad, mengibarkan bendera Suriah di antara puing bangunan yang hancur karena gempuran senjata selama perang saudara berlangsung, di kompleks Masjid Umayyad, Aleppo, 13 Desember 2016. (REUTERS/Omar Sanadiki)

Tahun lalu, keputusan Rusia untuk mendukung rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad pada perang saudara yang melanda negeri itu mengakibatkan konflik kebijakan dengan Amerika Serikat. Pasalnya, AS dkk justru memutuskan berupaya untuk meruntuhkan rezim sang presiden Suriah tersebut.

Ketegangan itu kemudian mencapai titik didih saat setidaknya 70 orang tewas akibat serangan senjata kimia di Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah, yang diduga didalangi oleh rezim al-Assad. Peristiwa itu mendorong Presiden AS Donald Trump untuk membalas dengan serangan rudal setelah menyalahkan rezim al-Assad yang didukung Rusia atas serangan nahas tersebut.

Rusia dan Iran mengatakan, mereka akan menanggapi lebih lanjut tindakan militer yang dilakukan oleh AS.

Dan dalam sebuah pernyataan bersama, pusat komando militer Rusia dan AS berkomitmen untuk 'menanggapi segala bentuk agresi yang datang dari kedua negara'.

Dr Alan Mendoza, direktur eksekutif dari firma keamanan Henry Jackson Society mengatakan, "kami telah melihat Rusia meningkatkan pengaruhnya yang cukup agresif di kawasan. Dan itu akan memicu negara oposisi untuk berbuat lebih banyak akan hal itu."

 

2. ISIS Sebagai Pemicu

Kedok simpatisan ISIS itu dibongkar tak sengaja oleh polisi. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Tahun 2017 menandai sebagian besar anggota ISIS yang telah melarikan diri dari basis mereka di Suriah dan Irak. Dan para militan radikal-ekstrem itu berpotensi untuk memulai sebuah aksi teror dunia secara terpisah dan tersembunyi.

Menurut sejumlah data, sekitar 850 orang dari Inggris dan Irlandia Utara telah melakukan perjalanan untuk mendukung atau memperjuangkan organisasi jihad yang berbasis di Suriah dan Irak itu. Dan sekitar setengahnya telah kembali ke Inggris.

Begitu pula para militan ISIS yang berasal dari kawasan Asia Tenggara yang dikabarkan telah kembali dari Suriah dan Irak. Diduga, sejumlah di antaranya menyulut beberapa peristiwa teror di Filipina dan Indonesia.

Sejumlah pihak khawatir bahwa para militan ISIS yang kembali ke negara asalnya akan membentuk kekhalifahan yang terinspirasi seperti di Mosul, Aleppo dan Raqqa.

"Bukan hal yang mengejutkan jika ISIS membentuk sel lain di luar negeri. Itu adalah salah satu cara untuk menunjukkan bahwa mereka masih kuat dan mampu menyerang sesuka hati," kata Veryan Khan, direktur Terrorism Research & Analysis Consortium.

"Serangan skala besar atau kecil, hal itu membuat mereka menjadi atensi media, sama seperti apa yang telah terjadi sebelumnya," tambah Khan.

 

3. Program Nuklir Korea Utara

Uji coba rudal balistik yang dilakukan Korea Utara (AFP)

Menurut seorang pembelot dan mantan diplomat Korea Utara untuk Inggris, Kim Jong-un dikabarkan sangat berkomitmen untuk mengembangkan persenjataan misil serta rudal nuklirnya.

"Selama Kim Jong-un berkuasa, Korea Utara tidak akan pernah melepaskan senjata nuklirnya. Korut tidak akan menyerahkan rudal dan misil nuklirnya, bahkan jika negara tersebut memperoleh US$1triliun atau US$ 10 triliun sebagai imbalannya," jelas Thae Yong-ho, mantan diplomat Korut untuk Inggris.

Negara di Semenanjung Korea itu juga kerap mengancam Amerika Serikat dengan mengatakan bahwa perang nuklir berskala penuh akan segera terjadi dalam waktu dekat, jika Washington, DC terus menekan mereka dengan sejumlah sikap agresif.

Merespons sejumlah ancaman itu, AS juga telah mempersiapkan sejumlah aset militernya untuk menghadapi Korut. Beberapa kapal perang, pesawat tempur dan pembom, puluhan hingga ratusan ribu pasukan, serta sistem pertahanan dan pencegat misil telah disiagakan di kawasan.

Teranyar, Amerika Serikat dilaporkan mengirim dua pesawat bomber jenis Rockwell B-1 Lancer ke Semenanjung Korea pada Sabtu 29 Juli 2017. Langkah itu dilakukan oleh AS sebagai respons terhadap uji coba rudal Korea Utara terbaru yang dilaksanakan sehari sebelumnya.

"Korea Utara tetap menjadi ancaman utama terhadap stabilitas di kawasan," jelas Jenderal Terrence O'Shaughnessy, komandan US Pacific Air Forces, dalam sebuah pernyataan resmi, seperti yang dilansir dari The Hill, Minggu 30 Juli 2017.

"Diplomasi tetap menjadi cara utama. Namun, kami memiliki tanggung jawab terhadap para sekutu. Dan kami menunjukkan komitmen untuk bersiap terhadap skenario terburuk. Jika diperlukan, kami siap untuk merespons dengan serangan yang intens dan mematikan sesuai dengan kehendak kami," tambah sang jenderal.

 

4. Efek Donald Trump

Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump (AP Photo/Alex Brandon)

John Andrews, pakar urusan internasional dan koresponden media asing veteran, mengatakan bahwa, "Trump merupakan tantangan nyata bagi para diplomat". Salah satu alasannya, menurut Andrews, adalah sikap Trump yang sulit ditebak dalam memproduksi sejumlah kebijakan luar negeri.

Tak hanya itu, tendensi sang presiden untuk selalu mengungkit sejumlah permasalahan politik melalui Twitter, dianggap semakin memperburuk situasi.

"Kita sudah terbiasa dengan pemimpin dunia yang sulit untuk diprediksi, seperti Kim Jong-un. Namun, setelah Pilpres AS 2016, kita mengenal satu lagi pemimpin dunia yang sulit diprediksi, yakni Donald J. Trump," tambah Andrews.

Situasi terbaru juga menunjukkan mengenai sikap Trump yang nampak semakin tak sabar untuk menekan Korea Utara terkait program nuklir yang dilakukan oleh Pyongyang. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya