Tak Hanya Indonesia, Gerhana Bulan Malam Ini Terlihat di 5 Benua

Termasuk Indonesia, gerhana Bulan parsial akan menyambangi Asia, Afrika, Eropa, Australia, dan Antartika, 3 pekan jelang gerhana Matahari AS

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 07 Agu 2017, 12:34 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2017, 12:34 WIB
Gerhana Bulan 'Merah Darah' Terlihat Sempurna di Makassar
Sejumlah fotografer dan mahasiswa terlihat mengabadikan momen tersebut di puncak menara Iqra kampus Universitas Muhammadiyah Makassar.

Liputan6.com, Jakarta - Pada saat Amerika Serikat tengah mempersiapkan kedatangan gerhana Matahari total dalam tiga pekan yang akan datang, dalam waktu dekat di belahan Bumi yang berbeda, fenomena kosmis lain akan turut melanda Planet Biru.

Setidaknya sejumlah kawasan di Benua Asia (termasuk Indonesia), Afrika, Eropa, Australia, dan Antartika akan terpapar gerhana Bulan sebagian (partial lunar eclipse) pada Senin malam atau Selasa dini hari--tergantung pembagian waktu setempat. Demikian seperti yang dilansir dari The New York Times, Senin (7/8/2017).

Gerhana Bulan pada dasarnya adalah kebalikan dari gerhana Matahari. Alih-alih Bulan yang berada di antara Matahari dan Bumi (gerhana matahari), pada gerhana lunar, Planet Biru-lah yang justru diapit oleh oleh sang Surya dan Rembulan.

Karena Bumi menghalangi cahaya Matahari yang terpancar ke Bulan, maka gerhana lunar akan memicu munculnya bayangan di Satelit Bumi itu. Bayangan itu terdiri dari dua jenis, umbra, yang merupakan bagian dalam yang lebih gelap, dan penumbra, bagian luar yang lebih terang.

Interaksi Bumi dengan Bulan bisa menciptakan tiga jenis gerhana lunar, yakni parsial, total, dan penumbra.

Selama gerhana Bulan parsial yang akan terjadi, hanya sebagian dari umbra Bumi yang akan menutup Bulan, mengingat posisi mereka yang tidak berada dalam satu garis lurus sempurna. Sehingga, bayangan yang akan tampak di Bulan hanya separuh.

Pada fenomena itu, para penikmat langit akan menyaksikan separuh bagian dari Bulan yang tampak gelap, sementara sisanya berwarna lebih terang. Bagian Bulan yang gelap adalah wilayah yang tertutup Bumi, sementara yang terang tetap disinari Matahari.

Gerhana Bulan sebagian yang akan terjadi nanti akan berlangsung selama dua jam. Dimulai sejak bayangan merambah dari tepi lunar hingga menutupi setengahnya.

Titik puncak fenomena itu, yang ditandai dengan bayangan gelap menutupi separuh Bulan, akan terjadi pada Senin malam pukul 18.20 menurut pengaturan waktu Coordinated Universal Time atau 01.20 Selasa dini hari waktu Jakarta.

Uniknya, fenomena kosmis itu terjadi dalam kurun waktu yang hampir berdekatan dengan peristiwa antariksa langka yang akan terjadi pada 21 Agustus 2017, yakni gerhana Matahari total di Amerika Serikat.

Menurut pakar, kurun waktu kedua peristiwa yang berdekatan itu bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebuah fenomena siklus alam yang terus mengalami keberlanjutan dari masa ke masa.

"Fenomena itu merupakan siklus kontinuitas. Kita akan mendapat gerhana Bulan ketika memasuki periode full moons dan akan mendapat gerhana Matahari ketika memasuki periode new moons," jelas Jackie Faherty, pakar astronomi dari American Museum of Natural History.

Dalam astronomi, full moons (bulan purnama) merujuk pada fase bulan ketika sang lunar terletak di belakang Bumi ditinjau dari Matahari. Fase itu membuat Matahari, Bumi, dan Bulan dalam satu garis lurus.

Sementara itu, new moons (bulan baru atau bulan mati) adalah fase Bulan pertama, yang terjadi pada saat Bulan kurang-lebih berada dalam satu garis lurus di antara Matahari dan Bumi. Seluruh permukaan Bulan yang disinari Matahari berada di bagian "belakang" Bulan dan bagian yang tidak disinari terlihat dari Bumi.

Gerhana Matahari dan Bulan terjadi secara berpasangan dalam kurun waktu yang berdekatan --prediksi kalkulasi berjarak satu hingga tiga minggu untuk masing-masing peristiwa.

Meski sebagai peristiwa yang bersifat siklus, hanya sebagian wilayah di Bumi yang mendapat keistimewaan terpapar fenomena itu. Menurut Jackie Faherty, hal itu disebabkan karena setiap bulannya, orbit Bumi dan Bulan kerap berubah sekitar 5 derajat --perubahan yang cukup signifikan-- sehingga membuat mereka kerap jarang berada dalam satu garis lurus di area yang sama.

"Hadiah Hiburan"

Keindahan gerhana bulan di atas langit kota San Jose di Rancho Redondo, Sabtu (4/4/2015). (REUTERS/Juan Carlos Ulate)

Untuk sebagian masyarakat global, fenomena gerhana lunar parsial yang akan terjadi Senin malam ini (atau Selasa dini hari), dapat menjadi "hadiah hiburan" bagi kawasan dunia yang tidak terpapar gejala kosmis langka gerhana Matahari total 21 Agustus 2017 nanti. Hanya Amerika Serikat yang mendapat keistimewaan terpapar fenomena langka yang akan muncul kurang dari tiga pekan mendatang itu.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gerhana Bulan parsial akan terlihat di beberapa belahan dunia, termasuk Eropa, Asia, Afrika, Australia, dan Antartika. Meski begitu, fenomena lunar tersebut tidak akan terlihat di Amerika Serikat, yang saat ini tengah bersiap untuk 21 Agustus nanti.

Mengingat semua itu, gerhana Bulan pada hari Senin malam nanti mungkin akan tidak dapat disaksikan oleh para penikmat antariksa. Salah satu faktor mungkin disebabkan karena langit yang mendung, potensi hujan deras, atau cuaca buruk di beberapa kawasan.

Di sisi lain, bagi yang mendapat keistimewaan diterpa gerhana lunar parsial, mereka akan menyaksikan sekitar setengah dari Bulan menghitam (pada sebagian kasus mampu memerah), pemandangan indah yang tak kalah ciamik dengan gerhana Matahari.

Gerhana Matahari 21 Agustus, Fenomena Langka

 

Ilustrasi Gerhana Matahari Total (iStockphoto)

Gerhana Matahari adalah peristiwa alam ketika Surya, Bulan, dan Bumi berada dalam satu baris lurus. Bulan, berdiri tepat di antara Matahari dan Bumi, menghasilkan bayangan di Planet Biru.

Fenomena alam itu hanya terjadi satu kali selama berpuluh-puluh bahkan hingga ratusan tahun. Kemunculannya yang amat langka itu menarik para ilmuwan, pakar langit dan bintang, antariksawan, astronom, hingga astrolog, yang berlomba-loma untuk melakukan analisis terhadap gerhana.

Tak hanya itu, gerhana Matahari total juga menjadi daya tarik sendiri bagi khalayak umum. Dari jauh hari, sebagian orang sudah mengambil ancang-ancang guna memanfaatkan fenomena tersebut sebagai salah satu momen pariwisata. Sebagian lain menjadikan momen kemunculan gerhana untuk beribadah sesuai agama keyakinannya, dan sisanya hanya sebatas sebagai penikmat.

Indonesia sendiri pernah mengalami fenomena alam yang langka itu pada 9 Maret 2016. Dan tahun ini, giliran Amerika Serikat yang mendapat jatah kemunculan gerhana Matahari total, tepatnya pada 21 Agustus 2017 nanti.

Sejumlah pakar menyebut, gerhana di AS pada 21 Agustus 2017 nanti akan menjadi fenomena sains terbesar dalam sejarah.

Terakhir kali gerhana Matahari total menyambangi AS adalah pada 26 Februari 1979. Sayangnya, tidak banyak orang yang mendapatkan kesempatan untuk melihat fenomena itu, karena hanya melintas di lima negara bagian di kawasan Barat Laut AS dan kondisi cuaca yang buruk.

Pada 21 Agustus nanti, semua orang di daratan AS akan melihat setidaknya gerhana Matahari sebagian. Jika langit cerah pada hari gerhana, kegelapan dari Bulan akan mencakup setidaknya 48 persen permukaan Matahari dan berdampak pada menggelapnya seluruh wilayah Negeri Paman Sam.

 

Saksikan juga video berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya