Menguap Bisa Menular? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Ketika para peserta penelitian diperintahkan untuk menahan menguap, dorongan untuk menguap malah meningkat.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 02 Sep 2017, 14:00 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2017, 14:00 WIB
Ilustrasi anjing menguap
Ilustrasi anjing menguap. (Sumber Public Domain Pictures)

Liputan6.com, Nottingham - Ketika suatu kali nanti kita mendengar ada orang sedang menguap (yawning), cobalah untuk tidak melakukan hal itu. Kemungkinan besar kita tidak akan berhasil melakukannya.

Alasannya, memang sukar menahan untuk tidak menguap apalagi jika ada orang di dekat kita melakukan hal itu. Temuan penelitian di Inggris menduga hal itu terkait dengan suatu daerah pada otak yang mengurusi fungsi motor (gerakan).

Para ilmuwan menyebut kejadian itu sebagai menguap yang menular yang termasuk suatu jenis "echophenomenon."

Dengan kata lain, menurut laporan dalam jurnal Current Biology yang terbit Kamis, 31 Agustus 2017, ia adalah imitasi otomatis terhadap orang lain.

Jenis-jenis lain echophenomenon adalah "echolalia,” yaitu imitasi perkataan seseorang, dan "echopraxia," yaitu imitasi tindakan seseorang.

Dikutip dari LiveScience, Jumat (1/9/2017), penularan menguap tidak hanya terjadi pada manusia. Beberapa hewan lain, termasuk anjing dan simpanse, juga terkena gejala ini.

Namun, alasan kenapa menguap menular dari orang ke orang atau hewan ke hewan masih belum diketahui.

Untuk meneliti apa yang terjadi pada otak ketika seseorang "tertular" menguap, para peneliti mengamati 36 orang dewasa yang diminta menonton beberapa klip video orang lain dengan menguap.

Dengan menggunakan stimulasi magnetik lintas tengkorak (transcranial magnetic stimulation, TMS), para peneliti mengukur kegiatan otak peserta selama eksperimen.

Dalam satu eksperimen, para peserta ditanyai apakah mereka mencoba meredam menguap ketika menyaksikan tayangan atau apakah mereka menguap dengan bebas.

Kemudian, para peserta diminta untuk melakukan sebaliknya.

Potensi Membalik Gangguan Saraf Otak

Dalam satu eksperimen lain, para peserta diberi perintah yang sama, tapi para peneliti memberikan aliran listrik ke kulit kepala para peserta.

Arus listrik itu dimaksudkan untuk merangsang bagian korteks motor yang diduga mengendalikan menguap.

Selama eksperimen, mereka juga diminta untuk mengira-ngira dorongan untuk menguap dan memberi nilai pada suatu skala geser.

Para peneliti mendapati bahwa peserta-peserta hanya berhasil sebagian saja dalam meredam menguap.

Memang benar, menguap lebar-lebar (full yawn) menjadi lebih sedikit jumlahnya, tapi menguap yang tertahan (stifled yawn) menjadi lebih sering.

Ketika para peserta diperintahkan untuk menahan menguap, dorongan untuk menguap malah meningkat.

Dengan kata lain, menurut penulis senior penulisan penelitian Georgina Jackson melalui pernyataannya, "Dorongan untuk menguap bertambah karena kita mencoba menghentikannya."

Georgina Jackson adalah profesor neuropsikologi kognitif di University of Nottingham, Inggris.

Para peneliti juga mendapati bahwa kecenderungan seseorang "tertular" menguap berkaitan dengan tingkat kegiatan otak di bagian korteks motor orang tersebut.

Semakin tinggi kegiatan di daerah otak itu, yang bersangkutan akan semakin berkecenderungan menguap. Terbukti, ketika para peneliti menerapkan arus listrik ke bagian otak yang dimaksud, dorongan untuk menguap meningkat.

Temuan tersebut memiliki implikasi pada beberapa penyimpangan neurologis, semisal sindrom Tourette yang membuat orang kesulitan mengekang tindakan-tindakan tertentu, demikian dituliskan dalam penelitian.

Menurut pernyataan Stephen Jackson, sesama penulis penelitian sekaligus seorang profesor ilmu saraf kognitif di University of Nottingham, jika kita mengerti pemicu pada korteks yang menjadi penyebab gangguan saraf, maka kita mungkin akan bisa membalik gangguan.

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya