Turki Dorong Negara Muslim Kerja Sama Hentikan Krisis Rohingya

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendorong negara muslim bekerjasama untuk menghentikan krisis Rohingya yang kian memprihatinkan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 11 Sep 2017, 07:48 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2017, 07:48 WIB
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Reuters)

Liputan6.com, Astana - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Minggu mendorong negara-negara Muslim untuk menggunakan segala cara yang ada, guna menghentikan krisis Rohingya di Myanmar.

"Kami ingin bekerja sama dengan pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk mencegah keadaan buruk kemanusiaan di kawasan ini," katanya pada sesi pembukaan pertemuan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Astana, Kazakhstan. Demikian seperti dilansir Anadolu News Agency, Minggu (10/9/2017).

"Organisasi internasional, dan kita sebagai negara Muslim pada khususnya, harus berjuang bersama dengan menggunakan segala cara yang ada untuk menghentikan kekejaman itu," katanya.

Erdogan juga mengatakan, Turki telah menawarkan bantuan dan berharap agar pemerintah Bangladesh membantu pengunsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di Rakhine, Myanmar.

Sementara itu, dalam keterangan tertulis yang dirilis untuk perhelatan yang sama, Erdogan meminta agar pemerintah Myanmar mendukung proses pencarian fakta yang dilakukan oleh PBB atas dugaan pelanggaran HAM di Rakhine.

"(Saya) Meminta pemerintah Myanmar untuk menerima misi pencarian fakta Dewan HAM PBB untuk melakukan investigasi menyeluruh dan independen atas semua dugaan pelanggaran undang-undang hak asasi manusia internasional dan untuk membawa pelaku ke pengadilan," kata pernyataan tersebut.

Sang presiden Turki itu juga berjanji untuk mengangkat isu Rohingya pada pertemuan tahunan Majelis Umum PBB akhir bulan ini.

Situasi Terkini di Rohingya

Kelompok pemberontak etnis Muslim Rohingya mendeklarasikan gencatan senjata yang akan dimulai pada Minggu 10 September 2017. Mereka juga mendesak agar militer Myanmar melakukan hal serupa selekas mungkin.

Gencatan senjata itu diumumkan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) --kelompok pemberontak Rohingya-- pada Sabtu kemarin dan akan dilaksanakan selama sekitar satu bulan. Demikian seperti dilansir BBC, Minggu 10 September 2017.

Selama periode itu, militan ARSA meminta agar organisasi humaniter atau kemanusiaan terus memberikan bantuan kepada etnis Rohingya dan warga sipil terdampak konflik bersenjata di Rakhine.

Meski begitu, inisiatif gencatan senjata tersebut belum direspons maupun disepakati oleh pemerintah dan militer Myanmar.

Sekitar 290.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri dari Rakhine dan mencari perlindungan di perbatasan di Bangladesh sejak 25 Agustus 2017, ketika konflik bersenjata antara ARSA dengan militer Myanmar pecah.

PBB mengatakan bahwa kelompok humaniter di lapangan membutuhkan dana sekitar US$ 77 juta berupa kebutuhan pokok dan kesehatan untuk membantu etnis Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine, di mana mereka kerap mendapat persekusi serta kekerasan dari militer yang turut didukung oleh kelompok etnis mayoritas.

Organisasi humaniter dan jurnalis asing di lapangan mengaku terkejut dengan kondisi dan banyaknya warga sipil Rohingya yang tengah melarikan diri dari Rakhine.

Mereka melaporkan, ribuan orang Rohingya yang melarikan diri melalui rute darat menuju Bangladesh, terlantar di pinggir jalan, mengemis, dan mengejar truk makanan yang melintas.

Seorang reporter Associated Press menyaksikan satu orang pingsan karena kelaparan saat mengantre di pos distribusi makanan.

Koordinator Residen PBB di Bangladesh, Robert Watkins mengatakan, "Ada kebutuhan mendesak untuk membuat 60.000 tempat penampungan baru, makanan, air bersih, dan layanan kesehatan, termasuk layanan dan dukungan khusus untuk perempuan Rohingya penyintas kekerasan seksual."

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya