Liputan6.com, Rakhine - Sejatinya pada Minggu 10 September 2017 gencatan senjata di Negara Bagian Rakhine dimulai. Usaha itu diminta oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) -- kelompok pemberontak Rohingya.
Kelompok itu meminta gencatan senjata berlangsung selama satu bulan agar organisasi humaniter atau kemanusiaan terus memberikan bantuan kepada etnis Rohingya dan warga sipil terdampak konflik bersenjata di Rakhine.
ARSA mengumumkan gencatan senjata itu di Twitter dengan mengatakan, "usaha ini dilakukan agar organisasi kemanusiaan bisa mengakses krisis di Rakhine."
Advertisement
"Kami juga meminta agar Pemerintah Burma (Myanmar) melakukan hal yang sama."
Namun, permintaan gencatan senjata itu ditolak mentah-mentah oleh pemerintah dan militer Myanmar.
"Myanmar tidak akan bernegosiasi dengan 'teroris'," kata juru bicara pemerintah Zaw Htay seperti dikutip dari BBC pada Senin (11/9/2017).
Serangan sejumlah anggota ARSA ke pos polisi di Rakhine pada 25 Agustus lalu memicu respons dari militer Myanmar, mengawali konflik bersenjata dan eksodus massal etnis Rohingya.
Sekitar 290.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri dari Rakhine dan mencari perlindungan di perbatasan di Bangladesh.
PBB mengatakan bahwa kelompok humaniter di lapangan membutuhkan dana sekitar US$ 77 juta berupa kebutuhan pokok dan kesehatan untuk membantu etnis Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine, di mana mereka kerap mendapat persekusi serta kekerasan dari militer yang turut didukung oleh kelompok etnis mayoritas.
Kelompok etnis Rohingya --berstatus minoritas tanpa kewarganegaraan di Myanmar-- menyebut bahwa militer melakukan aksi brutal, termasuk di antaranya adalah membakar desa mereka.
Akan tetapi, pemerintah Myanmar membantah tuduhan tersebut dan berdalih bahwa operasi militer di Rakhine merupakan upaya memerangi teroris Rohingya, salah satunya ARSA yang disebut sebagai kelompok teror oleh Naypydaw.
Militer Myanmar Dituduh Tanam Ranjau Darat
Pada Sabtu, kelompok hak asasi manusia Amnesty International menuduh militer Myanmar menanam ranjau darat di perbatasan dengan Bangladesh.
Penjaga perbatasan Bangladesh dan penduduk desa mengatakan kepada BBC, mereka menyaksikan lebih dari 100 tentara Myanmar yang berjalan dan tampaknya menanam ranjau darat di perbatasan.
Pejabat Bangladesh meyakini, pasukan pemerintah Myanmar menanam ranjau darat untuk menghentikan Rohingya kembali ke desa mereka.
Sedangkan seorang sumber militer Myanmar mengatakan, tidak ada ranjau darat yang ditanam akhir-akhir ini. Sementara pemerintah pusat menyebut, informasi akan hal itu masih sangat terbatas, sehingga belum dapat dipastikan kebenarannya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement