'Pergulatan' Sosok Li Cunxin, Antara Balet, China, dan Maoisme

Li Cunxin menuturkan pergulatannya antara balet dan komunisme-maoisme China lewat buku serta film Mao's Last Dancer.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 19 Sep 2017, 10:02 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2017, 10:02 WIB
(duduk depan berjas hitam) Li Cunxin bersama dengan Wakil Duta Besar Australia untuk RI Bradley Armstrong (duduk depan mengenakan batik) usai pemutaran film Mao's Last Dancer di Kedubes Australia di Jakarta. (18/9/2017). (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)
(duduk depan berjas hitam) Li Cunxin bersama dengan Wakil Duta Besar Australia untuk RI Bradley Armstrong (duduk depan mengenakan batik) usai pemutaran film Mao's Last Dancer di Kedubes Australia di Jakarta. (18/9/2017). (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Saat itu, kalender menunjukkan tahun 1972, ketika sejumlah komisar Partai Komunis China memasuki salah satu ruang kelas sekolah di sebuah desa di Provinsi Shandong, Tiongkok.

Di bangku barisan tengah bagian belakang kelas itu, duduklah seorang Li Cunxin belia yang masih berusia 11 tahun. Melihat sekelompok pria dan wanita berpakaian dinas Partai Komunis menyeruak masuk, serentak seluruh siswa, termasuk Li, duduk tegak seraya melipat tangan di atas meja.

Para komisar kemudian berkeliling ke seisi kelas, melihat satu per satu murid yang ada. Salah satu komisar kemudian menghampiri Li muda, menggenggam rahang sambil memperhatikan postur duduk sang bocah.

Tak lama setelahnya, sang komisar kemudian melengos pergi. Nampak pula raut kecewa terajut pada wajah Li.

Saat seluruh komisar hendak bergegas keluar, seorang guru kelas menahan pergi salah satu anggota Partai Komunis tersebut. Setelah menepuk pundak sang komisar, guru tersebut menunjuk ke arah Li seraya berkata, "Bagaimana kalau dia?"

Begitulah proses awal ketika Li Cuxin --anak seorang petani kelas proletar dalam sistem komunisme-maoisme China-- dipilih oleh pemerintah untuk mengikuti seleksi penari balet regional di Kota Qingdao, Provinsi Shandong.

Mereka yang lolos dalam seleksi ketat di tingkat regional kemudian dikirim ke Beijing, Ibu Kota China, untuk menjadi siswa dan siswi Madame Mao's Dance Academy. Dan Li, adalah salah satu putra bangsa yang lolos seleksi hingga ke akademi.

Terlepas dari konteks, sekilas torehan itu nampak sebagai prestasi. Namun, bagi Li belia yang rutinitas kesehariannya adalah membantu ayah-ibu untuk bertani demi memenuhi mandat rezim pemerintah komunis, lolos seleksi ke akademi itu terasa sama seperti wajib militer.

Ditambah lagi, balet dan segala hal tentang menari adalah hal yang sangat asing bagi si bocah petani.

Li Cunxin kala menyampaikan kata pembuka jelang pemutaran film Mao's Last Dancer di Kedubes Australia di Jakarta (18/9/2017). (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

"Dulu, apa yang terlintas dalam benakku adalah keinginan untuk membahagiakan ibu dan ayahku. Harapannya, ketika aku masuk dalam akademi, aku bisa mendapatkan uang untuk membantu keluargaku yang kerap kelaparan di desa," jelas Li yang kini berusia 56 tahun, menceritakan pergulatan hidupnya yang terbagi antara tari balet, keluarga, China, dan maoisme yang kala itu tumbuh subur di Tiongkok era Mao Zedong.

Kisah itu telah diabadikan dalam sebuah buku otobiografi (terbit 2003) serta film (rilis 2009) dengan judul yang sama, Mao's Last Dancer.

Film itu, beserta Li yang kini berstatus sebagai salah satu maestro danseur noble dunia, mendapat ruang kesempatan untuk bernarasi dan bertutur dalam rangkaian pra-acara 2nd Indonesian Ballet Gala yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Senin (18/9/2017).

Akademi Balet ala Komunis-Maois China

Ketika Li Cunxin terdaftar sebagai siswa Madame Mao's Dance Academy, komunisme-maoisme beserta revolusi kultural yang diusung oleh pemimpin tertinggi China, Mao Zedong, tengah berada dalam titik tertingginya.

Revolusi kultural merupakan gerakan sosio-politik-budaya-ekonomi yang terjadi di Tiongkok dari 1966 sampai 1976. Dicanangkan oleh Mao Zedong, tujuan gerakan itu adalah menyajikan ideologi komunis ala Mao di China dengan menyapu habis seluruh unsur kapitalis dan tradisional dari masyarakat Tiongkok, serta mencanangkan pemikiran 'Maois' sebagai ideologi juga gaya hidup dominan.

Demi tujuan itu, seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dikonstruksikan sesuai dengan haluan besar Mao dan Partai Komunis China. Termasuk di antaranya seni dan artistik.

Terdaftar sebagai siswa akademi balet tak membuat Li Cunxin mampu bebas mengekspresikan potensi, bakat, dan kehendak artisitknya. Justru, segala hal tentang tari balet yang diajarkan di Madame Mao's Dance Academy harus selaras dengan diktat pemimpin tertinggi Mao Zedong dan agenda revolusi kulturalnya.

"Di mana senjata, di mana seragam kebesaran partai, dan di mana muatan politiknya?" kata seorang komisar Partai Komunis China kala mengkritik simulasi balet Li Cunxin dan kamerad di akademi yang justru menampilkan koreografi balet beraliran Barat.

Reka adegan itu muncul dalam salah satu montase film Mao's Last Dancer yang ditayangkan di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dalam rangkaian pra-acara 2nd Indonesian Ballet Gala.

Sejak kritik itu, sepercik 'revolusi mental' tumbuh di dalam benak Li remaja yang perlahan mulai mencintai balet. Ia dan salah satu instruktur akademi sepakat bahwa tari balet harus terbebas dari agenda politik maoisme-komunisme China.

'Revolusi mental' tersebut semakin menjadi setelah sang instruktur yang memegang teguh prinsip pemurnian seni itu memberikan Li rekaman kaset video yang menampilkan tarian maestro ballerino Soviet, Mikhail Baryshnikov.

"Dia (instruktur itu) lah yang mendukung serta menambah kecintaanku pada balet. Itu yang membuatku bahagia dan sejak itu, aku ingin balet menjadi bagian dalam hidupku," jelas Li saat diwawancarai oleh Liputan6.com usai pemutaran film Mao's Last Dancer di Kedubes Australia di Jakarta, Senin 18 September 2017.

Meski begitu, Li yang kala itu telah dicekoki propaganda komunisme-maoisme selama bertahun-tahun sejak masih belia tak tahu harus berbuat apa demi menyuburkan kecintaannya pada tari balet.

 

Li Cunxin Menemukan Kebebasan Menari

Dalam Mao's Last Dancer, kisah hidup Li berubah drastis ketika ia terpilih sebagai siswa pertukaran antara Madam Mao's Ballet Academy dengan Houston Academy Amerika Serikat. Pertukaran itu juga menandai awal babak dari jalinan relasi Sino-Amerika (China-AS) memasuki medio 1980an.

Bagi Li Cuxin yang telah menginjak usia 20-an, pertukaran pelajar itu justru membuka lembaran baru dalam hidup serta karirnya sebagai premier danseur noble.

"Setelah aku tiba di Amerika Serikat, segala hal tentang komunisme-maoisme yang ada dalam benakku luntur," jelas Li kepada Liputan6.com usai pemutaran film Mao's Last Dancer di Kedubes Australia di Jakarta, Senin 18 September 2017.

"Aku sangat terkejut, saat aku masih di China, otak dan teknik baletku dicuci dengan segala propaganda komunisme-maoisme. Ketika tiba di AS, semua itu berubah. Aku merasakan ada kebebasan, bukan hanya dalam diriku tapi juga dari tarianku," tambahnya.

Di bawah besutan koreografer balet asal Inggris-AS, Ben Stevenson dari Houston Ballet, teknik dan gaya menari Li Cunxin semakin meningkat. Selama di Negeri Paman Sam, ia banyak belajar mengenai koreografi dan komposisi balet Barat kenamaan, disamping Swan Lake dan Raise the Red Lantern yang khas China - Soviet.

Namun, seusai periode pertukarannya habis, Li menolak untuk kembali ke China, karena tak ingin karir seni tari-nya terkungkung dalam agenda politik Tiongkok yang masih kental dengan komunisme-maoisme --meski Mao Zedong telah bertahun-tahun wafat.

"Aku merasa, selama di China, karir balet-ku terhambat. Aku juga merasa tari balet akan ditunggangi oleh motif-motif politik. Justru jika aku tetap bertahan di dunia Barat, semakin membuka peluang dan kesempatanku untuk belajar serta berkolaborasi dengan berbagai guru terbaik. Juga memicu diriku untuk berkompetisi dengan lebih baik," jelas Li.

"Selain itu, aku juga jatuh cinta dengan salah satu perempuan di sana (AS) yang kemudian menjadi istri dari pernikahanku yang pertama. Itu pula yang membuatku dan memberikanku kesempatan untuk bertahan di Amerika," tambah sang ballerino.

Akan tetapi, komitmen Li untuk mengejar mimpi menjadi pebalet kawakan, harus dibayar mahal. Karena menolak untuk kembali ke Tiongkok selepas periode pertukaran pelajarnya habis, status kewarganegaraan China Li dicopot oleh pemerintah Beijing.

Meski begitu, status pernikahannya dengan salah satu perempuan AS membuat Li secara legal tetap dapat tinggal di Negeri Paman Sam tanpa harus dideportasi.

Setelah gagal dengan pernikahannya yang pertama, Li Cunxin kembali membangun mahligai rumah tangga dengan seorang ballerina Australia, Mary McKendry. Pernikahan yang dikaruniai tiga orang anak tersebut, memantapkan status Li sebagai warga negara Australia.

Li Cunxin, yang berencana kembali ke panggung akhir tahun ini setelah rehat dari balet selama 18 tahun terakhir, dijadwalkan akan mengajarkan master class balet di Jakarta. Kegiatan itu menjadi bagian dari mata pra-acara 2nd Indonesia Ballet Gala yang digagas oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta.

Perhelatan 2nd Indonesia Ballet Gala akan diselenggarakan pada 23 September 2017 di Teater Jakarta.

 

Saksikan video wawancara khusus Liputan6.com dengan Li Cunxin berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya