Presiden Iran Kecam Sikap Donald Trump Soal Kesepakatan Nuklir

Presiden Iran mengecam sikap 'agresif' Presiden AS Donald Trump yang menolak untuk mendukung pakta Kesepakatan Nuklir Iran.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Okt 2017, 11:38 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2017, 11:38 WIB
Presiden Iran Hassan Rouhani
Presiden Iran Hassan Rouhani (AP Photo/Vahid Salemi)

Liputan6.com, Tehran - Presiden Iran Hassan Rouhani mengecam sikap 'agresif' Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menolak mendukung pakta Kesepakatan Nuklir Iran. Kecaman itu datang pada Jumat 13 Oktober 2017, beberapa saat usai Trump mengumumkan sikapnya pada hari yang sama.

"Apa yang terdengar pada hari ini (terkait pengumuman yang datang dari Trump) tak lain hanyalah tuduhan tak mendasar dan sumpah serapah yang telah berulang selama bertahun-tahun," jelas Rouhani di Tehran kala memberikan pidato dalam televisi nasional untuk merespons sikap Trump.

Presiden Rouhani juga mengatakan, Tehran akan tetap berkomitmen pada Kesepakatan Nuklir Iran jika pakta tersebut sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (14/10/2017).

Sebelumnya, dalam sebuah pidato di Gedung Putih, Presiden Trump menyatakan tak lagi mendukung pakta Kesepakatan Nuklir Iran.

"Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," jelas Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih.

Trump juga mengancam akan membuat AS meninggalkan pakta tersebut. Ancaman itu dapat menjadi kenyataan jika ada tiga pemicu berikut.

Pertama, Iran kembali mengaktifkan misil balistik lintas benuanya. Kedua, Negeri Para Mullah menolak melakukan negosiasi untuk memperpanjang perjanjian yang membatasi aktivitas nuklir mereka. Terakhir, Tehran terbukti kembali membuat bom.

Sementara itu, menanggapi ancaman Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani menyatakan bahwa negaranya tidak akan memasuki negosiasi dan melakukan amandemen dalam bentuk apa pun.

Ia juga menganggap, keputusan AS untuk menolak memberikan dukungan dan menginginkan negosiasi kembali justru akan semakin merugikan Washington.

"AS justru akan semakin terisolasi, ketika di saat yang sama semua orang berkomitmen pada pakta itu. Trump juga tak menyadari, sebuah hukum internasional tidak dapat dibubarkan begitu saja oleh hanya satu negara," jelas Rouhani.

 

Donald Trump Tak Lagi Berkomitmen

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan menolak untuk mendukung sertifikasi tinjauan berkala kesepakatan nuklir Iran pada hari Jumat 13 Oktober waktu setempat. Ia juga mengancam akan membuat AS meninggalkan pakta tersebut.

Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nulir Iran, merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan sejumlah pihak yang terdiri dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.

Pakta itu memiliki mekanisme pengawasan rutin. Secara berkala, yakni per-90 hari, para negara anggota akan memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran setelah melakukan peninjauan.

Terakhir kali, sertifikasi kepatuhan diberikan kepada Iran pada Juli 2017.

Namun kini, hampir 90 hari menjelang sertifikasi kepatuhan berikutnya, Presiden Trump menolak untuk memberikan dukungannya terhadap sertifikasi itu.

Ia beranggapan bahwa Iran tidak memberikan kontribusi positif terhadap perdamaian dan keamanan regional serta internasional, sebuah harapan yang disematkan dalam pembukaan JCPOA.

Saat ini, Inggris, Prancis, dan Jerman diketahui telah menyusun pernyataan sikap bersama. Mereka mendesak agar AS menandatangani sertifikasi kepatuhan terbaru dan tetap berkomitmen pada traktat tersebut.

Diprediksi, ke depannya Trump mungkin akan membujuk Senat AS untuk membentuk produk undang-undang (act) yang berisi sikap baru Washington terhadap isu nuklir Iran.

Namun, untuk membentuk legislasi semacam itu, butuh 60 suara dari total Senat AS. Itu berarti, Partai Republik -- yang mengusung Trump -- membutuhkan 'kata sepakat' delapan suara anggota Senat dari Partai Demokrat agar act tersebut dapat rampung.

Akan tetapi, seperti dikutip dari The New York Times, seluruh anggota Senat dari Partai Demokrat terus konsisten mendesak Trump untuk tetap berkomitmen pada JCPOA.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya