Kata 'Pribumi' dalam Pidato Anies Baswedan Dibahas di Australia

Pemilihan kata yang memicu kontroversi itu menjadi salah satu topik bahasan dalam wadah akademik di Monash University, Australia.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Okt 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2017, 15:00 WIB
Usai Dilantik, Anies Baswedan Berikan Pidato Pertama di Depan Warga Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat memberikan pidato pertama di hadapan warga Jakarta di Balai Kota, Senin (16/10). Anies-Sandi resmi menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Melbourne - Sepenggal kata yang diucapkan oleh Gubernur Anies Baswedan dalam pidato politik pertamanya usai dilantik menjadi "orang nomor satu DKI" sedang jadi pembicaraan, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri tetangga.

Dalam sebuah kalimat pidato, Anies menyebut kata "pribumi", sebuah penamaan etnis (etnofaulisme/ethnic slur) yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tak lagi boleh digunakan oleh seluruh pejabat pemerintahan Indonesia.

Di Australia, pemilihan kata yang memicu kontroversi itu menjadi salah satu topik bahasan dalam wadah akademik di Monash University, Melbourne. Demikian seperti dikutip dari Australiaplus, Jumat (20/10/2017).

Pembahasan itu dilaksanakan dalam kuliah umum Herb Feith dengan tajuk "Warga China atau Tionghoa di Indonesia".

Salah satu pembicara, associate professor Charles Coppel dari Melbourne University yang mengangkat tema kuliah berjudul "Normalising Chinese Indonesians", sempat menyinggung soal pidato Anies Baswedan.

"Menurut saya, kata pribumi yang digunakan Anies Baswedan aneh dalam tiga hal," ujar Profesor Coppel, yang dalam kuliah itu diperkenalkan sebagai Bapak Jurusan Indonesia di Australia.

"Pertama, dalam soal penjajahan, kolonial. Jadi, sekarang ini Indonesia dijajah oleh siapa? Kedua, adalah kata pribumi, Anies sendiri bukanlah pribumi, karena dia peranakan Arab. Ketiga, pernyataan itu tidak memperhatikan jasa kelompok seperti Tionghoa-Muslim di Indonesia," ujar Profesor Coppel.

Bahas soal Ahok

Ia juga membahas mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai bagian dari cerita mengenai warga Tionghoa-Indonesia.

Menurutnya, munculnya Ahok--awalnya sebagai Wakil Gubernur Jakarta, kemudian menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo--dilihat sebagai perkembangan yang luar biasa.

Akan tetapi, pada kurun waktu selanjutnya, ketika Anies memenangi Pilgub DKI 2017 dan Ahok berakhir di penjara --padahal sebelumnya mantan Bupati Belitung diperkirakan akan kembali terpilih.

"Apakah kekalahan Ahok disebabkan karena faktor etnis sebagai warga Tionghoa Indonesia? Ahok kalah bukan karena etnisnya, tapi ada hubungannya dengan masalah agama," jelas sang profesor.

Ia menjelaskan hal tersebut dari beberapa survei yang dilakukan sebelum pilkada. Walau warga puas dengan kepemimpinan Ahok, mereka tidak memilihnya lagi sebagai gubernur karena agama yang tidak sama (dengan yang mayoritas di Jakarta).

 

Kekeliruan Persepsi tentang Penduduk Tionghoa-Indonesia

Profesor Coppel juga menjelaskan mengenai kekeliruan persepsi yang tumbuh di dalam pemikiran warga Tanah Air terkait Tionghoa-Indonesia. Pertama adalah soal jumlah.

"Sensus pada tahun 2000 dan 2010 mengatakan bahwa jumlah penduduk Tionghoa-Indonesia sekitar 2 koma sekian persen. Namun diperkirakan, jumlahnya jauh di atas angka tersebut," katanya.

Menurut Copper, banyak orang masih tidak percaya ketika angka tersebut muncul pada 2000, karena sensus dilakukan tidak lama setelah Peristiwa Kerusuhan di tahun 1998. Diperkirakan, banyak warga Tionghoa-Indonesia yang tidak mau mengungkapkan etnisitas mereka, karena masih mengalami trauma kerusuhan.

"Pada sensus 2010, di mana hal-hal berkenaan dengan Tionghoa Indonesia sudah jauh lebih terbuka, antara lain dengan diakuinya Konghucu sebagai agama, diperbolehkannya perayaan Tahun Baru Imlek, dan tarian Barongsai, angkanya tetap sama," lanjut Prof Coppel.

Terkait stagnasi angka, Profesor Coppel menduga bahwa para penduduk Tionghoa-Indonesia memilih "etnis yang lain" ketika mengisi formulir sensus, menunjukkan bahwa terdapat perkawinan campur di dalam keluarga mereka.

Hal itu dilakukan karena terjadinya keterbatasan varian etnis dalam borang (formulir) sensus di Indonesia.

Di masa depan, Profesor Coppel mengatakan, bila sensus menyediakan beberapa pilihan etnis, maka diperkirakan situasinya akan berbeda.

Dalam soal agama yang dipeluk oleh warga Tionghoa Indonesia, data sensus juga menunjukkan bahwa mereka memeluk berbagai agama yang berbeda.

"Ada sekitar 5 persen Islam, 50 persen Buddha, 27 persen Protestan, 15 persen Katolik, dan 3 persen Konghucu," jelas Coppel.

Selain itu, Profesor Coppel juga mengatakan bahwa warga Tionghoa Indonesia lebih memiliki perasaan nasionalistis dan lebih merasa Indonesia dibandingkan dengan etnis lain.

"Lebih dari 60 persen mengatakan mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari di rumah, sementara yang lainnya di bawah 20 persen."

"Hanya 24 persen di antara warga Tionghoa mengatakan menggunakan bahasa sendiri di rumah, angka ini lebih kecil dibandingkan etnis lainya." tambahnya.

Kuliah tersebut rutin diselenggarakan oleh Monash University dan Yayasan Herb Feith, dengan mengedepankan topik-topik tentang Indonesia.

Yayasan Herb Feith merupakan sebuah organisasi akademik yang berdiri pada 2003 dengan tujuan mempromosikan dan mendukung apa yang pernah dilakukan Professor Herb Feith semasa hidupnya.

Profesor Feith intens mempromosikan pengajaran mengenai Indonesia di pendidikan tinggi di Australia. Ia juga banyak bergerak dalam aktivitas pendidikan internasional di bidang studi perdamaian, HAM, dan resolusi konflik.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya