Isu Energi Picu Keretakan Partai Koalisi Pro-Angela Merkel?

Keretakan koalisi dipicu oleh ketidaksamaan visi dalam rencana proyeksi kebijakan migrasi dan energi Jerman.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 20 Nov 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2017, 18:00 WIB
Kanselir Jerman Angela Merkel
Kanselir Jerman Angela Merkel (AP Photo/Martin Meissner, File)

Liputan6.com, Berlin - Diskusi dan negosiasi eksploratif yang dilakukan oleh sejumlah partai politik koalisi pemerintahan Jerman memicu keretakan di dalam internal persekutuan tersebut.

Koalisi itu mengalami keretakan internal pada Minggu 19 November waktu setempat, setelah Free Democratic Party (FDP) yang berorientasi bisnis meninggalkan tempat diskusi (walked out) di Berlin.

"Keempat mitra diskusi tak memiliki visi yang selaras untuk memodernisasi negara. Mereka juga tak memiliki rasa saling percaya antara satu sama lain," kata pemimpin FDP Christian Lindner seperti dikutip dari The Guardian, Senin (20/11/2017).

Lindner juga melanjutkan bahwa FDP memandang keempat mitra diskusi tersebut -- yang juga merupakan partai politik -- tak memiliki kesamaan visi dalam rencana kebijakan migrasi dan energi Jerman.

"Lebih baik tak memerintah, ketimbang menjadi pemerintah yang buruk," tambah Lindner.

Mengumumkan keretakan di dalam internal koalisi partai pemerintahannya, Kanselir Jerman Angela Merkel yang menyesali hal tersebut tetap bersikeras bahwa mereka akan mampu mencapai kata kompromi meski mengalami polarisasi opini dalam isu migrasi dan energi.

Memang pada kenyataannya, selama beberapa waktu silam, keempat partai itu kerap berusahan untuk saling 'menyikut' satu sama lain perihal pengetatan kontrol warga negara asing yang hendak masuk dan menetap di Jerman.

Menurut berbagai laporan media Jerman, Green Party menyarankan sebuah kompromi atas usulan untuk membatasi arus imigran ke Jerman menjadi sekitar 200.000 jiwa per tahun. Dengan syarat bahwa kebijakan 'proteksi khusus' bagi imigran yang berkeluarga tak dibatasi.

Selain itu, untuk aspek energi, koalisi berjibaku untuk menetapkan sikap bersama mengenai perubahan iklim dan pemanfaatan energi tak terbarukan. Green Party mengusulkan agar Jerman mengurangi energi listrik bertenaga batu bara hingga 8 - 10 gigawatt.

Usulan itu ditolak oleh beberapa partai koalisi, dengan alasan bahwa pengurangan itu akan mempreteli status ketenagakerjaan pekerja di sektor energi dan manufaktur.

Atas ketidaksepakatan itu, FDP menetapkan batas waktu kompromi hingga sore Minggu kemarin. Namun, hingga tenggat yang telah ditentukan, koalisi belum menemukan kata sepakat.

Meski begitu, hingga berita ini turun, proses kompromi dan negosiasi antara anggota koalisi masih terus berlangsung.

Jika para pihak telah mencapai kesepakatan, perundingan akan dipindahkan ke tahap berikutnya, yakni pengesahan dokumen proyeksi kerja kabinet. Dokumen itu akan memberi dasar untuk mengukir peran menteri dalam pemerintahan Jerman periode ini.

Sejak kembali terpilih menjadi Kanselir Jerman untuk keempat kalinya, Angela Merkel telah berusaha untuk membentuk sebuah koalisi antara Christian Democratic Union (CDU), Christian Social Union (CSU), partai orientasi bisnis FDP, dan Green Party of Germany.

Namun, usai keretakan koalisi, The Guardian menilai bahwa beberapa pihak mungkin akan mulai mempertanyakan kapabilitas Angela Merkel dalam merekatkan relasi politik persekutuannya atau kemampuannya untuk memimpin Jerman dalam periode teranyar ini.

Migrasi muncul sebagai isu politik yang kontroversial di Jerman setelah krisis pengungsi, ketika 1,2 juta imigran memasuki negara tersebut pada tahun 2015 - 2016.

Politikus yang memprotes kebijakan tersebut membentuk partai sayap kanan berorientasi populisme-nasionalisme dan anti-imigran Alternative für Deutschland. Partai itu ikut berpartisipasi -- untuk pertama kali dalam 50 tahun terakhir sejak kelompok ultranasionalisme menjadi momok di Jerman -- pada Pemilu 2017 lalu.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya