Liputan6.com, New York - Detektif polisi New York baru-baru mengumumkan hasil investigasi sebuah kasus pemerkosaan yang pada 23 tahun lalu dianggap hoax alias kebohongan oleh seorang kolumnis surat kabar.
Peristiwa itu terjadi di siang bolong pada tahun 1994. Kala itu, seorang perempuan yang tengah berjalan di Taman Prospect Brookyln diserang oleh orang asing dari belakang. Ia lalu diseret ke sebuah semak-semak rimbun, diikat dan kemudian diperkosa.
Korban saat itu berusia 27 tahun, lulusan Yale, baru saja selesai joging dan pulang ke rumahnya sambil membawa barang belanjaannya. Dia memberikan detil penyerangnya namun, NYPD meragukan penjelasannya dan membagi rasa skeptis mereka dengan media.
Advertisement
Dikutip dari The Guardian pada Rabu (10/1/2017), kolumnis New York Daily, Mike MC Alary, menulis apa yang ia dengar dari sumber polisi yang meragukan pengakuan korban.
Si sumber kepada McAlary mengatakan, korban mengarang soal kisah pemerkosaannya karena ia adalah seorang aktivis perempuan. Korban sengaja melakukan itu agar bisa membuatnya makin terkenal apalagi ia berencana melakukan pidato dalam sebuah demo melawan kekerasan terhadap lesbian.
Baca Juga
Namun, kemudian polisi mengubah sikapnya dan melaporkan, petugas mereka mendapatkan bukti berupa cairan sperma dari tubuh dan pakaian korban. Meski, teknologi masa itu belum bisa memisahkan DNA korban ataupun pelaku dan mencari siapa si pemerkosa itu.
Kemudian, selama kasus bergulir, ada teknologi baru saat itu yang membuat polisi mampu menyocokkan sample DNA dengan file berisi daftar pelaku pemerkosaan.
Namun, entah mengapa, upaya polisi terhadap kasus di Taman Prospect tidak diperbaharui ke media. Sehingga, McAlary terus menerus menulis meragukan keterangan korban dan meminta dia untuk ditahan karena pengakuan korban hoax.
Wanita tersebut menuntut surat kabar itu atas tuduhan fitnah, namun hakim dalam kasus tersebut mengeluarkan pembuktian yang luar biasa berat terhadap korban. Salah satu alasan, korban adalah seorang tokoh karena aktivitasnya sebagai pembela lesbian.
Akhirnya, kasus tersebut dihentikan. Kolumnis McAlary meninggal pada tahun 1998.
Namun, pada hari Selasa 9 September 2018, Robert Boyce, kepala detektif NYPD, mengatakan bahwa teknologi modern digunakan untuk menguji ulang bukti kasus 1994 itu.
Dengan teknologi teranyar, tim yang ia pimpin mengungkapkan bahwa kasus itu bukan isapan jempol semata.
Ada kesamaan DNA pelaku dengan pemerkosa serial terkenal, James Edward Webb.
Webb saat ini menjalani hukuman 25 tahun penjara seumur hidup di bagian utara New York karena memperkosa total 10 wanita, enam di tahun 1970-an dan kemudian empat orang di pertengahan tahun 1990-an kala Webb tengah menjalani pembebasan bersyarat.
Boyce menyebut Webb sebagai "orang buas". Narapidana tersebut menolak disebut pelaku kasus pemerkosaan di Prospect Park, meski dibeberkan bukti sahih.
Â
Menangis Penuh Emosional
Sementara itu, korban yang tak bisa lepas dari bayang-bayang trauma akhirnya bisa menangis lega sekaligus penuh emosional usai mengetahui bahwa kasusnya terpecahkan.
"Wanita tersebut menangis dengan gembira saat diberitahu bahwa kasus tersebut akhirnya telah terpecahkan, dan dia bukanlah pembuat hoax seperti apa yang ditulis media," ucap Boyce.
"Anda bisa membayangkan betapa emosionalnya dia," kata Boyce. "Saya pikir detektif saya menangis bersamanya."
Dia mengatakan kini detektif cold-case (kasus yang dianggap tak terpecahkan) tengah berjibaku mencari kasus-kasus pemerkosaan di masa lalu yang tak terungkap. Mereka membuka barang bukti lawas dan mengujikan dengan teknologi terbaru.
Pendamping korban, jaksa New York, Martin Garbus, mengatakan bahwa kliennya mengalami emosi yang sangat beragam.
"Dia merasakan kombinasi rasa sakit, kebingungan dan kelegaan," kata Garbus, yang mewakili korban pada saat kasus tersebut bergulir kepada Guardian.
Korban juga telah meminta Daily News dan NYPD untuk mengajukan permintaan maaf atas perlakuan terhadapnya.
Garbus mengatakan bahwa tidak jelas apakah dia berhak mengajukan tuntutan hukum baru dalam kasus ini. "Kami memeriksa semua pilihan," katanya.
"Cerita surat kabar, yang tanpa henti, hari demi hari, hampir sama traumatisnya dengan perkosaan itu sendiri," cetus Garbus.
Advertisement