5 Fakta Gunung Api yang Mengancam Nyawa 100 Juta Manusia

Kaldera raksasa pada gunung api bawah laut di selatan Jepang berisiko mengancam nyawa 100 juta manusia, Berikut adalah lima fakta utamanya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 15 Feb 2018, 18:40 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2018, 18:40 WIB
Teori Baru Kepunahan Dinosaurus
Beberapa saat setelah asteroid menabrak Bumi, gunung berapi mulai meletus dengan intensitas tak biasa dan amat kuat. (AFP)

Liputan6.com, Kobe - Temuan sebuah kubah lava raksasa pada gunung api di bawah permukaan air laut, di selatan pulau Kyushu, disebut berisiko mengancam keselamatan 100 juta manusia jika meletus.

Dilansir dari laman Daily Mail pada Kamis (15/2/2018), ilmuwan yang melakukan penelitian di situs terkait mendapati kandungan lahar sebanyak 8 triliun galon.

Inilah kemudian yang menjadi kekhawatiran para ilmuwan, di mana jika meletus, maka dampak kerusakannya tidak hanya terasa di kawasan Asia Timur, melainkan juga di seluruh dunia.

Kubah lava raksasa tersebut berada di sebuah kaldera gunung api bawah laut berdiameter hampir 10 kilometer, dan memiliki tinggi 600 meter.

Sekitar 30,5 meter bagian puncak kubah lava ini telah muncul di atas permukaan air laut, berbentuk pulau-pulau bebatuan, termasuk di dalamnya pulau Iwo Jima yang bersejarah.

Simak empat fakta utama tentang kaldera raksasa, yang keberadaannya dikaitkan dengan legenda letusan gunung api purba Kikai, di bawah ini:

 

 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 

1. Sulit Diprediksi Kapan Akan Meletus

Gunung Sinabung
Aktivitas Gunung Sinabung yang kembali memuntahkan asap dan abu vukanik pada tanggal 15 Januari 2018. Gunung yang kembali aktif tahun 2010 untuk pertama kalinya dalam 400 tahun, meletus kembali pada tahun pada 2013. (AFP Photo/Lana Priatna)

Beberapa ilmuwan telah berusaha memetakan lantai kaldera melalui beberapa operasi penyelaman dengan bantuan robot. Namun hingga saat ini, belum juga ditemukan data pasti mengenai tipe letusan, gerak seismik, dan prediksi terdekat tentang kapan gunung api terkait meletus.

Peningkatan aktivitas vulkanik terakhir tercatat terjadi pada 2013, di mana serbuan gelembung uap terlihat di perairan di atas sisi tenggara kaldera Kikai. Setelahnya, tanda-tanda aktivitas vulkanik hampir jarang terlihat, kecuali sesekali penampak gelembung uap berukuran sedang.

Jika benar-benar meletus, dampak letusannya diperkirakan akan mengancam keselamatan 100 juta jiwa di kawasan Asia Pasifik.

Prediksi tersebut didasarkan pada data sejarah letusan Kikai yang terjadi pada sekitar 7.300 juta tahun lalu, di mana konon melenyapkan peradaban bangsa Jomon, sebuah bangsa pra sejarah yang hidup di selatan Kepulauan Jepang.

2. Berisiko Memicu Letusan Mahadahsyat

Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883
Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883 (Wikipedia)

Jika benar-benar erupsi, kubah lava Kikai akan menyebabkan aliran piroklastik, yakni aliran cepat berisi gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan.

Aliran piroklastik itu disebut mampu berembus hingga sejauh 80 kilometer, dan menyebarkan abu gunung berapi hingga radius 1.000 kilometer, melintasi laut ke arah sebagian besar wilayah di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Kapulauan Pasifik.

Adapun tebaran abu vulkanis diprediksi akan menutupi sebagian besar atmosfer Bumi, lalu menutupi pancaran sinar matahari, sehingga berisiko sebabkan musim dingin vulkanis.

Selain itu, letusan gunung api terkait juga berpotensi menyebabkan gelombang tsunami besar, yang tidak hanya melanda pesisir Kepulauan Jepang, namun juga pesisir daratan China, Taiwan, dan bahkan mencapai pantai barat Amerika Utara dan Amerika Selatan.

3. Kemungkinan Meletus dalam 100 Tahun Mendatang

Pulau Iwo Jima yang menajdi salah satu lokasi vulkanis terbesar di selatan Jepang (AP?Adam Sandhill)
Pulau Iwo Jima yang menajdi salah satu lokasi vulkanis terbesar di selatan Jepang (AP?Adam Sandhill)

Pimpinan Pusat Eksplorasi Dasar Laut Kobe pada Universitas Kobe mengatakan kemungkian gunung api terkait meletus adalah satu banding 100. Hal ini berarti ada kemungkinan besar satu kali letusan terjadi dalam jangka waktu 100 tahun ke depan.

Prediksi tersebut didasarkan pada penghitungan pola catatan erupsi yang terjadi di area tektonik di antara selatan Kepualaun Jepang dan utara Pulau Taiwan.

Meski belum ditemukan jelas tipe-tipe khusus yang bisa menandakan tren peningkatan aktivitas vulkaniknya, namun para peneliti meyakini bahwa hal itu akan banyak dipengaruhi oleh pergerakan aktif cincin gunung api Pasifik (Pacific Ring of Fire).

4. Bagian dari Cincin Api Pasiifk

Ring of Fire
(Sumber Wikimedia Commons)

Cincin Api Pasifik merupakan sebuah jalur gunung api yang membentang sejauh 40.000 kilometer dari Selandia Baru, memutari perairan Asia Tenggara dan Asia Timur, hingga berakhir di pantai barat keseluruhan benua Amerika.

Sebanyak hampir 90 persen gunung berapi aktif berlokasi di jalur Cincin Api Pasifik, sehingga membuat banyak wilayah yang dilintasinya kerap dilanda gempa bumi dan erupsi.

Banyaknya gunung api di lokasi ini tidak lain disebabkan oleh fakta bahwa terdapat banyak zona subduksi di dalamnya, yakni pertemuan berbagai lempeng tektonik yang terus bergerak aktif.  

Belakangan, jalur Cincin Api Pasifik mulai menandakan tren peningkatan aktivitas vulkanik, seperti rentetan gempa dan gunung berapi yang terjadi sejak awal 2018.

5. Menghapus Peradaban Bangsa Jomon

Bangsa Jomon adalah sebuah masyarakat pra sejarah yang hidup di antara zaman Pleistosen hingga zaman Holosen, sekitar 10.000 hingga 7.000 tahun Sebelum Masehi.

Wilayah tempat tinggal bangsa Jomon diberkahi oleh kekayaan sumber alam, sehingga kegiatan mencari makan dilakukan dengan cara berburu hewan dan mengambil jenis tanaman di darat dan laut.

Seperti kisah pada legenda Atlantis, kebudayaan bangsa Jomon diduga kuat lenyap oleh letusan dahsyat gunung berapi, yang dalam hal ini dikaitkan dengan keberadaan kaldera Kikai.

Adapun bangsa Jomon yang selamat, konon menyebar selatan dan tenggara Asia. Hal ini diyakini oleh beberapa ilmuwan sebagai awal mula cikal bakal bangsa Austronesia, yang menyebar dari Taiwan ke berbagai wilayah di Asia Tenggara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya