Liputan6.com, Ankara - Turki dan Uni Eropa berupaya memulihkan hubungan setelah permusuhan berbulan-bulan berlangsung. Para pejabat Uni Eropa menyatakan kekhawatiran bahwa Turki bergeser ke otoriterisme, namun Uni Eropa akan menyambut kedatangan Presiden Recep Tayyip Erdogan di Varna, Bulgaria, Senin 26 Maret 2018.
Pertemuan dilakukan sementara Uni Eropa ingin Turki mempertahankan peran sebagai penjaga gerbang untuk migran yang ingin masuk Eropa. Ankara memiliki sederetan panjang tuntutan.
Namun menjelang pertemuan Varna, ketegangan antara kedua pihak memuncak lagi Kamis, 22 Maret 2018.
Advertisement
Baca Juga
"Dewan Eropa mengutuk keras terus diambilnya tindakan ilegal oleh Turki di Mediterania timur dan Laut Aegea, dan menegaskan solidaritas penuh dengan Siprus dan Yunani," kata pernyataan Uni Eropa, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (25/3/2018).
Turki mengerahkan kapal perang dalam serangkaian pertikaian dengan Yunani dan Siprus, yang adalah anggota Uni Eropa.
"Kami tidak dapat menerima pernyataan mengenai Turki," tulis Menteri Turki untuk Keanggotaan Uni Eropa, Omer Celik. Namun secara pribadi pihak lain melihat bahwa sikap Turki menjadi moderat.
Menurut para analis, Ankara ingin pertemuan Varna berlangsung, "Ini akan menjadi peluang untuk foto bersama, kesempatan bagi rezim Turki untuk mengirim pesan kepada rakyat bahwa semua baik-baik saja dengan Uni Eropa, yang merupakan hal penting karena rezim Turki semakin lama semakin terisolasi," kata analis politik Cengiz Aktar.
Erdogan diperkirakan akan mendesak Uni Eropa agar memperkenalkan perjalanan bebas visa untuk warga Turki, dan menyerukan perluasan kesepakatan mengenai bea cukai. Kedua permintaan terhambat karena keprihatinan Uni Eropa terkait komisi HAM di Turki.
Turki Ancam Ciptakan Mimpi Buruk bagi Eropa
Sebelumnya, hubungan antara kedua pihak begitu panas. Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu mengeluarkan ancaman kepada Eropa. Dia mengatakan siap memberikan pengalaman buruk bagi Benua Biru.
Pengalaman buruk tersebut akan mereka wujudkan dengan cara mengirim 15 ribu pengungsi ke Eropa. Jika benar terjadi maka ketegangan antara dua blok ini akan semakin meruncing.
"Jika kamu mau, kami bisa membuka jalan bagi 15 ribu pengungsi yang tidak pernah kami kirim tiap bulan dan itu akan menghancurkan pikiran kalian," sebut Soylu seperti dikutip dari Al-Araby.
Soylu merupakan salah satu pendukung Presiden Recep Tayyep Erdogan garis keras. Saat Turki dan Belanda berselisih, pria ini menuduh Berlin dan Den Haag terlibat dalam demo anti-Erdogan Oktober 2014 dan kudeta gagal 15 Juli 2016 lalu.
"Mereka itu (negara-negara Eropa) sedang mencoba menyelesaikan pekerjaannya, siap di belakang ini? Jerman dan Belanda," ucapnya.
"Eropa apa kamu punya keberanian? Saya ingatkan, kalian tidak bisa melakukan permainan ini dan melupakan Turki," tambah dia.
Turki dan Eropa pada 2016 lalu menandantangani kesepakatan untuk mengurangi pengiriman pengungsi dari Timur Tengah ke Benua Biru.
Namun, dengan adanya ketegangan ini kesepakatan itu cenderung dilanggar Turki. Melihat indikasi tersebut, Eropa mulai meradang. Uni Eropa meminta agar Turki menaati kesepakatan yang tercapai.
Kecemasan Eropa sangat beralasan. Pasalnya, bila Turki menepati ancamanya maka hampir seluruh negara Eropa akan dibanjiri pengungsi seperti pada 2015 lalu.
Advertisement