Korsel dan Korut Siap Gelar Reuni Keluarga yang Terpisah oleh Perang Korea

Seoul dan Pyongyang dikabarkan tengah bersiap menggelar agenda reuni keluarga yang terpisah oleh Perang Korea.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 23 Jun 2018, 06:48 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2018, 06:48 WIB
Gelar Pertemuan, Begini Momen Keakraban Kim Jong Un dan Presiden Korea Selatan
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bersalaman dengan Presiden Korsel Moon Jae-in (kiri) sebelum menggelar pertemuan di Panmunjom Korea Utara (26/5). (Korean Central News Agency/Korea News Service via AP)

Liputan6.com, Seoul - Para pejabat Korut dan Korsel dilaporkan bertemu pada Jumat, 15 Juni 2018, untuk melakukan pembicaraan tentang kelanjuran agenda reuni keluarga yang terpisah oleh Perang Korea pada 1950 sampai 1953.

Pertemuan tersebut, oleh beberapa pengamat, disebut sebagai peningkatan rekonsiliasi di tengah desakan diplomatik untuk menyelesaikan krisis nuklir Korea Utara.

Dikutip dari Time.com pada Jumat (22/6/2018), Kementerian Unifikasi di Seoul mengatakan pertemuan itu akan membahas langkah pelaksanaan kesepakatan reuni, yang dibuat oleh Pemimpin Kim Jong-un dan Presiden Moon Jae-in, selama pertemuan puncak di Panmunjom pada April lalu.

Pada pertemuan bersejarah itu, kedua pemimpin negara menyepakati agenda reuni yang rencananya akan digelar pada 15 Agustus mendatang. Tanggal tersebut dipilih bertepatan dengan "kemerdekaan" Semenanjung Korea dari pemerintahan kolonial Jepang pada akhir Perang Dunia II.

Sebulan setelahnya, Kim Jong-un dan Moon Jae-in kembali melakukan pembicaraan, yang kemudian menghasilkan kesepakatan untuk memulihkan hotline militer lintas batas, dan mengirimkan delegasi gabungan Korea ke pawai pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta pada 18 Agustus mendatang.

Adapun pembicaraan pada Jumat lalu diharapkan dapat menentukan tanggal dan lokasi pasti penyelenggaraan reuni, sekaligus menentukan jumlah orang yang berpartisipasi dari kedua negara.

Banyak pihak menilai agenda reuni bersifat sangat emosional, dan sebagian besar diikuti oleh para kelompok manula, yang terpisah oleh Perang Korea. Mereka umumnya ingin sekadar bertemu dengan orang mereka cintai sebelum menghembuskan napas terakhir di usia senja.

Pertemuan itu bisa menjadi perdebatan jika para pejabat Korea Utara menegaskan kembali desakan pengembalian 12 pekerja restoran, sebagai imbalan untuk memungkinkan pelaksanaan reuni.

Seoul dikabarkan telah menahan 12 wanita asal Korea Utara yang menyeberang secara ilegal ke Selatan pada 2016. Pemerintah Negeri Ginseng tidak begitu saja mempercayai alasan mereka untuk pindah kewarganegaraan, dan menudingnya memiliki rencana terselubung.

Penahanan tersebut membuat Korea Utara menolak proposal reuni keluarga yang diajukan pada pertengahan tahun lalu.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Reuni yang Terbatas

Replika Panmunjom di Perbatasan Korea
Dua pria berpose menirukan jabat tangan Presiden Korea Selatan Moon Jae In dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di replika desa perbatasan DMZ Panmunjom di Namyangju, Sabtu (5/5). Replika Panmunjom menjadi wisata baru setelah KTT Korea. (AFP/Ed JONES)

Kedua negara Korea terakhir kali mengadakan reuni keluarga pada 2015, sebelum hubungan mereka memburuk pasca-pernyataan Pyongyang untuk mengejar target pembangunan teknologi rudal nuklir jarak jauh.

Sejak berakhirnya Perang Korea, Seoul dan Pyonyang telah melarang masing-masing warganya untuk saling mengunjungi kerabat di sisi lain perbatasan. Pemerintah kedua negara juga melarang sambungan telekomunikasi lintas batas.

Diketahui pula bahwa sebanyak hampir 20.000 warga Korut dan Korsel telah berpartisipasi dalam 20 putaran reuni, yang diadakan sejak tahun 2000 silam.

Dalam rencana reuni terbaru, para pejabat Korea Selatan dikabarkan mengusulkan survei skala penuh untuk mengonfirmasi anggota keluarga yang masih hidup di Korea Utara. Selain itu, pemerintahan Moon Jae-in juga mengharapkan kemungkinan kunjungan ke kota-kota perbatasan dan pertukaran surat-menyurat.

Namun, belum jelas apakah Korea Utara akan menerima usulan rencana tersebut.

Di sisi lain, menurut Kementerian Unifikasi di Seoul, serangkaian agenda reuni terbatas disebut tidak cukup memenuhi tuntutan keluarga yang sudah tua, di mana kebanyakan telah berusia di atas 80 tahun.

Selain itu, lebih dari 75.000 orang dari total 132.000 warga Korea Selatan, yang mengajukan permohonan menghadiri reuni, dilaporkan telah meninggal.

Korea Selatan menggunakan lotre dengan sistem komputerisasi untuk memilih peserta reuni, sementara Korea Utara diyakini menggunakan metode tingkat kesetiaan kepada pemimpin otoriter.

Beberapa analis mengatakan bahwa Korea Utara "pelit memberikan izin" reuni kepada warganya, karena khawatir berujung pada "pencucian otak".

Pyongyang diduga kuat was-was jika reuni tersebut membuat warganya terpengaruh oleh orang-orang Selatan yang lebih makmur, sehingga berisiko membelot.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya