Hiperinflasi Venezuela: Nilai Uang Tidak Lebih Berharga dari Segulung Tisu Toilet

Hiperinflasi yang terjadi di Venezuela membuat harga-harga melonjak tajam, yang jika ditukar ke mata uang asing, justru tidak ada nilainya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 23 Agu 2018, 18:14 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2018, 18:14 WIB
Saking Tak Bernilai, Uang Venezuela Dibikin Jadi Tas
Wilmer Rojas (25) saat menjajakan kerajinan tangan dari lembaran mata uang Bolivar di Caracas, Venezuela, 30 Januari 2018. Dengan menggunakan jarum dan benang, Rojas menyulap lembaran Bolivar menjadi dompet hingga tas. (AFP Photo/Federico Parra)

Liputan6.com, Caracas - Saat ini, uang di Venezuela tidak lebih berharga dibandingkan tisu toilet.  Tumpukan besar uang bahkan hanya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Jika disebut nilainya, harga-harga di negara itu akan membuat kaget, meski nilai faktualnya tidak jauh dari satu dolar AS.

Dikutip dari News.com.au pada Kamis (23/8/2018), contoh realitas tersebut, salah satunya, terlihat pada harga satu ekor ayam seberat 2,4 kilogram, yang dibanderol 14,6 juta bolivar, atau setara dengan Rp 36.000. 

Bahkan, satu gulung tisu toilet dijual seharga 2,6 juta bolivar, atau kurang dari 7.000 dalam mata uang rupiah. Harga -harga tersebut dilaporkan bertahan hingga akhir pekan lalu.

 

Ahli ekonomi dan hiperinflasi Profesor Steve Hanke dari John Hopkins University mengatakan, menghapus nol dari mata uang sulit memberi pengaruh positif pada perbaikan ekonomi Venezuela.

"Mereka telah menukar 100.000 bolivar lama untuk satu bolivar baru, (tetapi) nilainya kira-kira sama, satu sen dalam dolar AS," kata Prof Hanke kepada BBC.

"Kemarin, tingkat inflasi tercatat 61.500 persen secara tahunan, dan hari ini telah melonjak hingga 65.500 persen, jadi jelas tidak ada yang berubah," lanjutnya menjelaskan.

Namun, masih menurut Prof Hanke, krisis hiperinflasi Venezuela saat ini "agak sederhana" jika dibandingkan dengan beberapa yang pernah terjadi dalam sejarah

Catatan sejarah terburuk terjadi di Hungaria pada 1946, di mana tingkat inflasi harian mencapai 207 persen.

Zimbabwe pada tahun 2008 menempati posisi terburuk kedua, yakni ketika inflasi naik dua kali lipat setiap 24 jam.

 

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini

 

Simak video pilihan berikut: 

Devaluasi Mata Uang Venezuela

Presiden Nicola Maduro di hadapan rakyat Venezuela - AFP
Presiden Nicola Maduro di hadapan rakyat Venezuela - AFP

Pada Senin 20 Agustus, otoritas Venezuela memangkas lima nol dari mata uangnya, dan kemudian merilis "bolivar sovereign" sebagai alat pembayaran sah terbaru, yang nilainya setara dengan 100.000 bolivar lama.

Pemerintah Venezuela juga mengumumkan kenaikan 3.000 persen upah minimum, kenaikan pajak, dan rencana untuk mematok mata uang ke petro, sebuah cryptocurrency yang didukung negara secara luas, meski kerap dianggap sebagai penipuan.

Sehari setelahnya, Selasa 21 Agustus, bank sentral Venezuela mendevaluasikan bolivar sebesar 96 persen, dan menetapkan nilai tukar baru senilai 68,65 bolivar untuk setiap satu euro.

Prof Hanke, bersama beberapa ahli ekonomi lainnya, menyarankan untuk segera membuang bolivar, dan menggantinya dengan dolar AS.

"Kami melakukannya pada tahun 2001 di Ekuador, ketika saya menjadi penasihat Menteri Keuangan di sana," katanya.

"Sucre, mata uang lokal, sedang kolaps, inflasi melonjak. Kami baru saja menyingkirkan sucre dan menggantinya dengan dolar. Segalanya dalam beberapa jam berubah tenang," lanjut Prof Hanke.

Sejak 2014, sekitar 2,2 juta orang Venezuela telah meninggalkan negara itu untuk menghindari krisis ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi di sana akan mencapai satu juta persen pada akhir 2018.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya