Liputan6.com, Yangon - Puluhan orang menggelar demonstrasi di pusat kota Yangon pada Minggu 16 September 2018, menuntut pembebasan dua jurnalis Reuters yang dipenjara oleh Myanmar, hanya karena melaksanakan pekerjaannya sebagai wartawan yang meliput krisis kemanusiaan Rohingya.
Pemenjaraan itu telah menjadi sebuah kemunduran bagi Myanmar yang tengah berproses menuju demokrasi, terutama dalam hal menyusutnya kebebasan berekspresi dan hak atas informasi publik.
Dua pekan lalu, Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28) divonis tujuh tahun penjara berdasarkan undang-undang Official Secrets Act yang berlaku di Myanmar.
Advertisement
Vonis itu mengejutkan komunitas jurnalis yang baru lahir di negara itu karena menggemakan kembali kehidupan bermedia di bawah bekas junta, ketika pers sangat disensor dan wartawan secara rutin dipenjarakan.
Baca Juga
Putusan itu juga memicu kecaman global terhadap pasukan Myanmar dan terhadap pemimpin sipil de facto Aung San Suu Kyi karena gagal mengambil sikap.
"Kami sangat marah. Kami kecewa dengan pemerintahan baru. Sayang sekali," kata aktivis Maung Saung Kha, 25, kepada AFP, seperti dikutip dari Channel News Asia, Senin (17/9/2018).
"Kami mengutuk hukuman ... mereka harus dibebaskan."
"Citra negara telah dirugikan oleh keputusan pengadilan," pengunjuk rasa Thin Zar Shun Lei Yi menambahkan.
Di sisi lain, masyarakat umum justru bersikap apatis dalam responnya terhadap putusan itu.
Para wartawan akan mengajukan banding terhadap putusan tetapi prosesnya akan memakan waktu berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun.
Sementara itu, salah satu opsi yang mungkin bisa membebaskan mereka adalah pengampunan dari Presiden Myanmar.
Simak video pilihan berikut:
Meliput Krisis Rohingya Berujung Dipenjara
Dua jurnalis Reuters, Wa Lone (32) dan Kyaw Soe Oo (28), ditangkap pada bulan Desember 2017 saat menyelidiki pembunuhan ekstra-yudisial oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap 10 pria Rohingya selama penindasan militer tahun lalu.
Insiden itu kemudian diakui oleh tentara.
Pada akhir Agustus 2018, PBB mengatakan kampanye pembunuhan, perkosaan dan pembakaran yang meluas memaksa lebih dari 700.000 orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Para penyelidik PBB juga mengatakan, kekerasan tahun lalu merupakan praktik genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dewan HAM PBB akan merilis temuan lengkap penyelidikannya dalam beberapa hari mendatang.
Advertisement