Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia akan menyesuaikan kebijakan luar negerinya terhadap Australia, menyusul niat Negeri Kanguru, pada 16 Oktober 2018, untuk memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Isu yang berkaitan dengan Palestina merupakan hal penting bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, serta merupakan mandat konstitusi kita," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir dalam konferensi pers Kamis (18/10/2018), mengawali jawabannya ketika ditanya apakah rencana tersebut akan memicu perubahan sikap Indonesia dalam hubungan bilateralnya dengan Australia.
Melanjutkan, Arrmanatha mengatakan, "Tentu kita akan menyesuaikan kebijakan atau tindakan kita, tergantung pada situasi yang ada."
Advertisement
Tapi, Arrmanatha menambahkan, "Namun, saya tidak bisa meramal atau juga memutuskan langkah apa yang akan kita ambil jika hal itu terjadi pada waktu dekat."
Baca Juga
Meski begitu, Arrmanatha menegaskan, bukan berarti sikap itu diinterpretasikan bahwa hubungan bilateral Indonesia-Australia 'menjadi nomor dua' dalam kebijakan luar negeri RI. "Saya tidak bilang begitu ya," jelasnya.
"Yang saya katakan adalah, isu Palestina sangat penting. Hubungan bilateral Indonesia-Australia dan bilateral Indonesia dengan para negara tetangga, juga sangat penting."
"Kami mengambil langkah (terkait kebijakan luar negeri) selaras dengan prioritas Indonesia. Hubungan bilateral Indonesia-Australia adalah salah satu prioritas. Tentu saja kita akan mengambil langkah dan kebijakan sesuai dengan prioritas itu."
"Isu Palestina juga salah satu prioritas, dan kita juga akan mengambil langkah serta kebijakan sesuai dengan prioritas itu," jelas Arrmanatha.
Komentar itu datang setelah Perdana Menteri Australia Scott Morrison, pada 16 Oktober 2018, mempertimbangkan opsi untuk memindahkan kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Rencana itu dinilai bermuatan politis domestik, karena, diumumkan menjelang pemilihan anggota House of Representative Australia (setara DPR) yang akan diselenggarakan pada 20 Oktober 2018. Tujuannya, demi mendulang suara calon pemilih Yahudi kepada kandidat dari partai yang sama dengan Morrison, Partai Liberal Australia.
Palestina dan sejumlah negara pendukungnya, termasuk Indonesia, mengkhawatirkan keras rencana tersebut.
Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki, pada 16 Oktober, mengatakan bahwa niat Australia --jika terlaksana-- merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan berbagai Resolusi Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB.
Maliki juga mengatakan, "Niat Australia berisiko mengganggu hubungan bisnisnya dengan seluruh dunia, terutama, negara Arab dan negara mayoritas muslim."
Indonesia, sebagai salah satu negara pendukung setia Palestina, mengkhawatirkan dan mempertanyakan niat Australia tersebut.
"Indonesia menyatakan kekhawatirannya terhadap pengumuman Australia dan kami mempertanyakan maksud dari hal itu," kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat menyampaikan keterangan pers bersama dengan Menlu Maliki di Jakarta pada 16 Oktober 2018.
Retno juga menjelaskan bahwa isu Yerusalem merupakan salah satu dari 6 isu yang harus dinegosiasikan dan diputuskan sebagai bagian akhir dari perdamaian yang komprehensif. Itu sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB serta kesepakatan berbagai proses perundingan yang telah dilakukan.
"Karena itu Indonesia meminta Australia dan negara lain untuk terus mendukung proses perdamaian Palestina-Israel sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati dan tidak ambil langkah yang dapat mengancam proses perdamaian dan stabilitas keamanan dunia."
Mengganggu Perjanjian Perdagangan Bebas RI-Australia?
Sejumlah media juga melaporkan bahwa rencana yang diumumkan oleh PM Morrison, untuk memindahkan kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, akan mengganggu perjanjian perdagangan bebas RI-Australia (IA-CEPA) --yang perundingannya rampung Agustus 2018 dan akan ditandatangani oleh kedua kepala negara pada akhir tahun ini.
Ketika ditanya tentang laporan tersebut, Jubir Kemlu RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan, "Perundingan IA-CEPA sudah difinalisasi oleh Presiden Jokowi dan PM Morrison saat ia berkunjung ke Jakarta pada Agustus 2018. Kedua negara akan menandatangani IA-CEPA paling cepat akhir tahun 2018 ini."
Simak video pilihan berikut:
Warga Palestina Marah atas Niat Australia
Warga Palestina banyak yang memberikan reaksi kecewa dan marah atas kemungkinan Australia memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Sementara Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan langkah itu akan memajukan proses perdamaian Israel-Palestina, wakil Palestina mengatakan tindakan Australia malah akan menghancurkan proses tersebut.
Pejabat senior Palestina Nabil Shaath mengatakan Morrison tampaknya menggunakan pertimbangan politik jangka pendek dalam negeri guna melakukan kebijakan luar negeri.
"Secara politik ini akan menghancurkan harapan akan adanya perdamaian," kata Shaath, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Kamis (18/10/2018).
"Ini sama sekali tidak membantu, tapi hanya untuk meningkatkan kemungkinan pemerintah menang di Wentworth di Australia."
"Bila kita melakukan model politik ini di Timur Tengah untuk memenangkan pemilihan sela di Australia, maka maafkan saya bisa memiliki pandangan yang negatif terhadap kebijakan pemerintah Australia."
Perseteruan yang terus berlanjut sampai sekarang adalah mengenai status kawasan Yerusalem Timur, bagian dari Kota Yerusalem yang dikuasai oleh militer Israel di tahun 1967, dan dianggap oleh PBB sebagai di bawah kekuasaan militer sejak saat itu.
PBB mengecam pembangunan untuk permukiman di kota tersebut dan atas segala usaha untuk mengubah komposisi demografis seperti memindahkan lebih banyak warga Yahudi ke permukiman yang selama ini ditempati oleh warga keturunan Arab.
Di Silwan di permukiman Arab tidak jauh dari kota lama Yerusalem, di mana selama ini permukiman baru Yahudi dan warga Arab yang sudah lama tinggal di sana, sekarang hidup berdampingan dalam suasana saling mencurigai, pernyataan dari Australia disambut dengan rasa terkejut dan kecewa.
Jawad Syiam menjalankan Pusat Informasi Wadi Hilweh di Silwan, yang memantau gerakan pemukim Yahudi ke kawasan permukiman Arab.
"Australia selalu memberikan kesan bahwa mereka bersikap netral, yang disambut baik oleh warga Palestina," kata Syiam.
"Tetapi sekarang kami melihat Australia mengikuti jejak setan, Donald Trump."
"Jadi ini adalah keputusan bodoh dari sebuah negara yang ingin menghindar dari kemungkinan adanya serangan, dari segala masalah," ujar warga Palestina itu.
Advertisement