Ini Tantangan yang Dihadapi Indonesia dalam Menghadapi Pasar Afrika

Kementerian Luar Negeri Indonesia menyebut bahwa Indonesia masih menjumpai tantangan ketika masuk ke pasar Afrika.

oleh Afra Augesti diperbarui 21 Des 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 21 Des 2018, 16:00 WIB
Pasar Barter di Togo
Pedagang menyiapkan barang-barangnya untuk ditukarkan dengan barang lain di pasar barter di Togoville, 24 November 2018. Setiap hari Sabtu di pantai utara Danau Togo, sekitar 65 km timur ibu kota, Lome, berlangsung tradisi pasar barter. (Yanick Folly/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Afrika pada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Daniel Tumpal Simanjuntak, menyebut bahwa Indonesia masih harus menghadapi tantangan dari sektor ekonomi terhadap pasar-pasar yang ada di Afrika. Ia menuturkan, belum banyak perusahaan atau pengusaha kelas menengah yang sadar terhadap pasaran di Afrika.

"Perhatian kita (Indonesia) sendiri ke Afrika, belum (begitu besar). Kita masih peru mengedukasi Indonesia bahwa Afrika juga termasuk negara yang penting (untuk pertumbuhan ekonomi dalam negeri). Kelas menengah belum aware sama Afrika. Selain itu, kita juga harus mengubah mindset bahwa BUMN dan perusahaan swasta Indonesia bisa menjadi 'pemain' global," ujarnya saat dijumpai di Kantin Diplomasi, Kemlu RI, Jakarta, Jumat (21/12/2018).

Pria yang akrab disapa Tumpal itu menambahkan, nilai perdagangan Indonesia dengan Afrika juga masih kecil, hanya sekitar 3% dari perdagangan Indonesia dengan seluruh negara-negara di dunia.

Karena salah satu fokus perhatian diplomasi Indonesia adalah Afrika, maka sebagai tindakan nyata untuk mewujudkannya ialah dengan menggelar Indonesia Afrika Forum (IAF) pada 10-11 April 2018 di Nusa Dua, Bali.

Dalam kegiatan tersebut, diperoleh sejumlah business deals atau kesepakatan bisnis melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh sejumlah negara di Afrika dengan Indonesia. Nilai perjanjiannya pun mencapaai US$ 586,5 juta, atau setara Rp 8.6 triliun.

"Yang menarik, ternyata, range dari business deals itu bisa mendorong Indonesia menjadi lebih maju lagi, menjadikan diplomasi ekonomi Indonesia ke Afrika dan ke pasar-pasar non-tradisional jadi lebih luas," ucap Tumpal.

Dalam IAF 2018, sejumlah kerja sama ekonomi dan perdagangan telah disetujui. Contoh, adanya kesepakatan antara Indonesia Eximbank dengan The African Export-Import Bank (Afri Exim Bank) di bidang perjanjian kerangka kerja pada fasilitas kredit, dengan nilai US$ 100 juta, atau setara Rp 1,4 triliun.

Dari situlah, secara strategis, kerja sama keuangan antara lembaga terkait di Indonesia dengan mitranya yang ada di luar negeri telah dimulai.

"Tidak seluruh negara di dunia ini punya Eximbank. Tapi, negara-negara besar seperti anggota G20, MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia) atau BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), pasti punya. Eximbank membantu penetrasi barang-barang atau investasi dari sebuah negara di negara lain," Tumpal menjelaskan.

Suntikan Dana non-APBN

Selain itu, MoU lain yang juga berhasil disepakati yaitu Indonesia Eximbank dengan Standart Chartered Bank dengan nilai US$ 100 juta. Maksud dari kerja sama ini adalah, jika ada proyek masa depan, maka pendanaannya tidak hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Dengan kata lain, melalui IAF 2018, suntikan dana segar dari sumber-sumber dana di luar negeri, yang tidak berasal dari APBN, bisa dipakai oleh perusahaan Indonesia untuk masuk ke Afrika," kata Tumpal.

Selain itu, kerja sama seperti ini juga bisa dipakai sebagai jaminan. Misalnya, bila ada negara di Afrika yang ingin meminjam uang ke Indonesia dan membutuhkan penjamin, maka mereka bisa memanfaatkan Afican Eximbank dan bank sejenis untuk mendapatkan kebutuhan mereka.

Perjanjian lain yang ditandatangani antara BUMN Indonesia-Afrika ialah PT Dirgantara Indonesia dengan A.D. Trade Belgium (US$ 75 juta), PT PAL Indonesia dengan A.D. Trade Belgium (US$ 110 juta), PT WIKA dengan Indonesia Eximbank (yang diminta untuk merenovasi istana presiden Niger dengan nilai US$ 26,7 juta), PT TIMAH dengan Topwide Ventures (US$ 25,9 juta), dan sebagainya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

 

Indonesia Perluas Kerja Sama dengan Uganda dan Afrika Timur

Menteri Luar Negeri Kedua Uganda Kirunda Kivejinja dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melaksanakan pertemuan bilateral di Jakarta (24/7/2018) (sumber: Kementerian Luar Negeri RI)
Menteri Luar Negeri Kedua Uganda Kirunda Kivejinja dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melaksanakan pertemuan bilateral di Jakarta (24/7/2018) (sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyatakan bahwa Indonesia akan gencar membuka pasar perdagangan baru di Uganda dan Afrika timur.

Komitmen itu disampaikan oleh Menlu Retno saat menerima Wakil Perdana Menteri Kedua Republik Uganda Kirunda Kivejinja di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri RI, Selasa 18 Desember.

Berbagai tindak lanjut Indonesia-Afrika Forum juga akan dilakukan Indonesia untuk semakin memperluas dan meningkatkan hubungan Indonesia dengan negara-negara di Afrika. Uganda merupakan salah satu mitra dagang penting Indonesia di kawasan Afrika Timur.

Uganda memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan trend perdagangan kedua negara terus meningkat dalam 5 tahun terakhir.

Indonesia juga membidik kesempatan kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan kawasan Afrika Timur. Untuk itu, Indonesia mengusulkan pembentukan Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dengan East African Community (EAC).

"Dukungan Kivejinja dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Menteri Negara Anggota Afrika Timur (Chairman of East African Community Council of Ministers) sangat vital," pungkas Menlu Retno seperti dikutip dari rilis resmi Kementerian Luar Negeri RI, Selasa, 24 Juli 2018.

Peluang kerja sama infrastruktur dengan Uganda cukup besar. Untuk itu, Menlu Retno membahas lebih rinci potrensi Perusahaan dan BUMN Indonesia untuk dapat membangun infrastruktur di Uganda.

"Rencana penyelenggaraan Indonesia – Africa Infrastructure Dialogue (IAID) pada Agustus 2019 mendatang sangat strategis," imbuh Retno.

Terkait hal tersebut, Indonesia harapkan partisipasi aktif Uganda dalam IAID dan mengajak pihak Uganda untuk bekerja sama dalam merancang sejumlah proyek joint venture bidang infrastruktur, senilai USD 20-30 juta.

Dalam kesempatan ini, Menlu Retno kembali menawarkan Uganda untuk memanfaaatkan fasilitas pembiayaan melalui Eximbank Indonesia.

Hubungan diplomatik RI-Uganda dibuka pada tahun 1982. Nilai total perdagangan RI-Uganda periode 2013-2017 naik rata-rata 3,41 persen per tahun. Nilai perdagangan bilateral 2017 sebesar USD 34,34 juta, naik dari USD 22,11 juta pada tahun 2016 (kenaikan 55 persen).

Di bidang pendidikan, selama periode 2008 – 2017, Indonesia telah memberikan beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) kepada 37 warga negara Uganda. Sejak tahun 1999 hingga 2017, Indonesia telah memberikan pelatihan kepada 13 orang peserta asal Uganda, diantaranya mengenai pelatihan diplomatik, sistem pengairan, perikanan dan peace support operation course (PSO).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya