Pebisnis Berdarah Uighur di Xinjiang, Penjual Garmen Bulu Unta yang Mendunia

Tahun itu 1996, ketika Tayr, pria berdarah Uighur di Wuqia, Xinjiang hanya bermodalkan 90 yuan untuk memulai bisnisnya di bidang industri tekstil.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 27 Feb 2019, 01:00 WIB
Diterbitkan 27 Feb 2019, 01:00 WIB
Tayr, pebisnis berdarah Uighur di Wuqia, Xinjiang, pelaku industri garmen berbasis bulu unta yang mendunia (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)
Tayr, pebisnis berdarah Uighur di Wuqia, Xinjiang, pelaku industri garmen berbasis bulu unta yang mendunia (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Liputan6.com, Wuqia, Xinjiang - Tahun itu 1996, ketika Tayr, pria berdarah Uighur dari Xinjiang hanya bermodalkan 90 yuan untuk memulai bisnisnya di bidang industri tekstil.

Sebagai lulusan pertambangan di sebuah universitas di Xinjiang, Tayr sempat bekerja sebagai teknisi untuk perusahaan negara di terlebih dahulu sebelum memulai usahanya.

"Sebagai teknisi, orang-orang lokal menghormati pekerjaan saya. Pada suatu waktu, sebuah keluarga memberikan saya matras sebagai tanda terima kasih. Matrasnya sangat lembut dan hangat."

"Kemudian saya tanyakan kepada mereka terbuat dari apa matras itu, dan ia bilang dari bulu unta. Hal itu kemudian memicu saya untuk belajar dan terjun ke industri pengolahan bulu unta dan memulai bisnis saya sendiri," lanjut Tayr melalui penerjemah kepada beberapa wartawan Indonesia di Wuqia, Xinjiang pada Minggu 24 Februari 2019.

Tayr mengatakan, kocek yang ia punya untuk memulai bisnisnya sendiri hanya 90 yuan pada 1996. Namun, modal awal yang minim tidak menjadi penghalang bagi Tayr untuk berkiprah.

"Saya dapat dukungan dari pemerintah lokal. Tanpa bantuan mereka, tidak mungkin bisnis saya akan berkembang," kata Tayr yang menambahkan bahwa ia mendapat pinjaman lunak sebesar 450.000 yuan dari pemerintah.

Tayr mengatakan, pada mulanya, memulai bisnis garmen berbasis bulu unta memiliki beberapa kendala khusus. Terutama, soal bahan mentah utama: bulu unta.

Namun, seiring waktu, Tayr semakin ciamik mengembangkan bisnisnya.

Toko workshop di pabrik industri garmen berbasis bulu unta berkualitas ekspor yang dipimpin oleh pria beretnis Uighur di Wuqia, Xinjiang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Bulu unta yang menjadi bahan utama ia peroleh dari wilayah Xinjiang --provinsi terbarat China yang memiliki Gurun Gobi di areanya, serta kelompok etnik lokal yang bermata-pencaharian sebagai peternak hewan berpunuk tersebut.

"Namun terkadang, saya bisa kekurangan bahan mentah karena banyaknya pesanan dari dalam dan luar negeri," jelas Tayr yang mengaku bahwa produknya yang sudah dipatenkan "selalu habis terjual tanpa stok di gudang."

Namun, untuk mengatasi kekurangan material, pria berdarah Uighur itu memesan bahan baku dari negara tetangga China di barat.

"Kalau kekurangan bahan di Xinjiang, kami mengimpor dari negara tetangga seperti Kazakhstan, Kirgiztan, dan Asia Tengah. Tapi sampai saat ini, bahan baku mayoritas berasal dari Xinjiang," kata Tayr.

Toko workshop di pabrik industri garmen berbasis bulu unta berkualitas ekspor yang dipimpin oleh pria beretnis Uighur di Wuqia, Xinjiang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Perusahaan Tayr, yang bernama 'Wuqia Camel Fur Company', memproduksi berbagai jenis garmen berbasis bulu unta yang diekspor ke Rusia (pasar utama), Kanada dan Jepang. Produknya memiliki merk pasar 'Desert Velvet' dan 'Orkax'.

Tayr sengaja menargetkan pasar negara yang memiliki musim dingin, mengingat bulu unta merupakan bahan garmen yang berfungsi untuk menghangatkan dan juga memiliki kualitas kelembutan yang nyaman untuk dipakai.

Tak dinyana, bisnis Tayr memperoleh profit yang menggiurkan. Satu mantel (coat) musim dingin misalnya, dijual dengan harga berkisar 800 yuan.

"Keuntungan tahun lalu sekira 8,2 juta yuan. Setiap tahun, keuntungan meningkat sekira 12 persen," klaim Tayr.

"Saat ini sedang kekurangan bahan mentah (bulu unta). Namun, jika bahan mentah bertambah lagi, profit mungkin akan meningkat lagi," kata pria berdarah Uighur itu.

 

Simak video pilihan berikut:

Mendapat Apresiasi Pejabat Partai Komunis Lokal

Tayr, pebisnis berdarah Uighur di Wuqia, Xinjiang, pelaku industri garmen berbasis bulu unta yang mendunia (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)
Tayr, pebisnis berdarah Uighur di Wuqia, Xinjiang, pelaku industri garmen berbasis bulu unta yang mendunia (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Kerja keras Tayr untuk sampai ke capaiannya saat ini diapresiasi oleh pemerintah lokal.

Dari semula bermodalkan 90 yuan, pria keturunan etnis minoritas di China itu kini telah memiliki pabrik di Wuqia dengan 317 pegawai, kebanyakan warga lokal.

"Pegawai digaji berdasarkan pekerjaan yang mereka selesaikan. Minimum 2.500 yuan, maksimum 6.000 - 7.000 yuan," kata Tayr.

"Ketika kami merekrut lokal, kami akan melatih mereka selama 3 - 6 bulan sesuai bidang pemrosesan yang akan mereka kerjakan."

Kain bulu unta yang hendak diproses menjadi berbagai pakaian di industri garmen milik pria berdarah Uighur di Wuqia, Xinjiang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

"Pekerja yang mengoperasikan mesin adalah lulusan sekolah kejuruan. Sementara pekerja manual berpendidikan lebih rendah. Rerata usia sekitar 35 tahun."

Kontribusi Tayr mengembangkan bisnis di Wuqia, kata seorang pejabat pemerintah Xinjiang, "ikut membantu program pemerintah dalam mengentas kemiskinan" di wilayah terjauh China itu. Penggalakkan program pengentasan kemiskinan merupakan "salah satu kebijakan yang menjadi fokus pemerintah Xinjiang dan China," tambahnya.

Toko workshop di pabrik industri garmen berbasis bulu unta berkualitas ekspor yang dipimpin oleh pria beretnis Uighur di Wuqia, Xinjiang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Kemiskinan di beberapa wilayah Xinjiang, terutama di area dekat perbatasan, disebut sebagai salah satu faktor yang berkontribusi bagi seseorang untuk 'terinfeksi radikalisme dan ekstremisme', lanjut seorang pejabat departemen diseminasi informasi untuk Partai Komunis China di Xinjiang.

Menggunakan alasan untuk memberantas 'radikalisme dan ekstremisme', Tiongkok dikabarkan telah mendirikan "sejumlah kamp internir" untuk menampung "etnis minoritas secara massal", menurut laporan Panel HAM PBB pada Agustus 2018. "Kamp-kamp" tersebut, menurut sejumlah media Barat, juga terindikasi melanggar hak asasi manusia dan diskriminatif terhadap etnis minoritas.

Tiongkok telah membantah "tuduhan" tersebut dengan mengatakan bahwa fasilitas yang dimaksud merupakan "sekolah vokasi". "Siswa" di dalamnya diberikan pelatihan kerja pada beberapa bidang manufaktur dan keterampilan guna mengangkat mereka dari "radikalisme, ekstremisme dan kemiskinan" serta diajarkan mengenai "bahasa, hukum, dan cara hidup bangsa China."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya