Malaysia Resmi Bergabung Pengadilan Kriminal Internasional

Malaysia resmi menjadi anggota ke-124 Pengadilan Kriminal Internasional sejak Senin, 4 Maret 2019.

oleh Siti Khotimah diperbarui 05 Mar 2019, 16:01 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2019, 16:01 WIB
Gedung Pengadilan Kriminal Internasional (AFP Photo / Juan Vrijdag )
Gedung Pengadilan Kriminal Internasional (AFP Photo / Juan Vrijdag )

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Sejak Senin 4 Maret 2019, Malaysia telah resmi menjadi anggota ke-124 Pengadilan Kriminal Internasional atau International Criminal Court (ICC).

Hal itu disampaikan oleh seorang menteri kabinet pada Selasa, 5 Maret 2019, menanggapi kritik yang semakin meningkat terhadap Negeri Jiran.

ICC adalah pengadilan kejahatan perang permanen di dunia, yang dapat menuntut pelanggar ketika pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu menyelesaikan kasus.

Bergabungnya Negeri Jiran sebagai anggota ICC merupakan janji pemerintah baru yang berkuasa sejak tahun lalu.

Kula Segaran, Menteri Sumber Daya manusia Malaysia mengonfirmasi penandatanganan perjanjian terkait dengan keanggotaan ICC telah dilakukan pada Senin 4 Maret 2019, sebagaimana dikutip dari Channel News Asia (5/3/2019).

Segaran mengatakan bahwa keanggotaan Malaysia dalam ICC akan bermanfaat bagi penyelesaian kejahatan kemanusiaan.

"Dengan bergabung dengan ICC, Kuala Lumpur sekarang dapat memainkan peran penting dalam masalah yang terkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan," katanya kepada AFP.

Penandatanganan perjanjian terkait ICC dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Saifuddin Abdullah, setelah disetujui oleh kabinet Malaysia.

 

Simak pula video pilihan berikut:

Sayangnya, ICC Tengah Mengalami Kemunduran

Pengadilan Kriminal Internasional (AFP Photo)
Pengadilan Kriminal Internasional (AFP Photo)

Bergabungnya Malaysia dalam keanggotaan ICC secara ideal dianggap mampu menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan dengan lebih baik. Sayangnya, ICC bukanlah instutusi tanpa kekurangan.

Pada Januari tahun ini, ICC disebut oleh beberapa entitas "mengalami kemunduran besar" pascapembebasan mantan Presiden Pantai Gading Laurent Gbagbo. Pembebasan Gbagbo yang melakukan kekerasan pascapemilihan di negaranya tersebut, menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait efektivitas ICC.

Tidak hanya mendapatkan kecaman atas pembebasan orang "berprofil tinggi", ICC dianggap lemah pascapernyataan keluar dari Burundi dan Filipina. Dua negara tersebut mengundurkan diri saat ICC hendak memulai penyelidikan di negaranya.

Burundi keluar dari ICC pada 2017 lalu, pascapeluncuran penyelidikan awal ICC terhadap kemungkinan kejahatan kemanusiaan di Afrika selama krisis politik.

Sedangkan Filipina menarik diri dari ICC pada Maret lalu, saat ICC hendak melancarkan penyelidikan kemungkinan adanya kejahatan kemanusiaan dalam "perang narkoba" yang dilakukan oleh pemerintahan Rodrigo Duterte.

Kasus-kasus itu dianggap sebagai bukti ketidakefektivan ICC dalam mencapai misinya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya