Kota di Jepang Ini Larang Turis Makan Sambil Jalan, Kenapa?

Sebuah kota di Jepang ini melarang turis yang datang untuk makan sambil jalan. Ada apa di balik larangan tersebut?

oleh Afra Augesti diperbarui 10 Mei 2019, 11:11 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2019, 11:11 WIB
Kota Kamakura di Jepang
Pengunjung memadati jalan masuk Tsurugaoka Hachiman-gū di Kamakura, Jepang. (Creative Commons)

Liputan6.com, Kamakura - Jepang sedang berjuang untuk mengatasi pedagang kaki lima (street food), penjual makanan asongan yang mewabah di sejumlah lokasi wisata populer. Kamakura, kota yang ada di prefektur Kanagawa, adalah salah satunya.

Pada bulan April, Kamakura mengeluarkan peraturan resmi yang meminta seluruh turis untuk tidak makan sambil berjalan.

Alasan utama pemberlakuan larangan itu adalah sampah dari kemasan dan sisa makanan yang dapat menarik perhatian hewan di sana, merepotkan penduduk setempat untuk membersihkannya.

Kamakura berjarak sekitar 30 km (19 mil) dari barat daya Yokohama. Kota ini merupakan rumah bagi beberapa kuil paling terkenal di negara itu, serta untuk pantai yang indah.

Seorang perwakilan dari Kamakura mengatakan kepada CNN, yang dikutip oleh Liputan6.com pada Jumat (10/5/2019) bahwa peraturan tersebut --yang dipampang di tempat umum-- diciptakan untuk membangun kesadaran para pelancong terkait masalah sampah, ketimbang menghukum mereka.

Meski sudah mulai diterapkan, tidak ada denda atau sanksi yang diberikan untuk pelanggar.

Secara khusus, pihak berwenang setempat menitik beratkan fokus mereka di Komachi-dori, gang yang dikelilingi oleh deretan toko pakaian dan penjaja makanan. Jalan kecil ini banyak dikunjungi oleh pemburu kuliner lokal, meskipun juga menjadi area komersial.

Berawal dari Adat

Kenakan Kostum, Tur Unik di Kamakura Sajikan Nuansa ala Samurai
Pemandu Satoshi Kamakura dan peserta mengenakan pakaian tradisional Jepang Samurai saat mengikuti tur situs bersejarah di Kamakura, Jepang (26/11). (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Japan Today melaporkan bahwa 50.000 hingga 60.000 orang mengunjungi Komachi-dori setiap harinya, menyusuri jalan setapak yang panjangnya hanya 350 meter (1.200 kaki).

Namun, kekhawatiran tentang "makan sambil berjalan" tidak hanya terkait dengan potensi sampah atau tumpahan minuman di kain-kain yang dijual di sana --atau di jalan.

Banyak penduduk Jepang percaya bahwa makan sambil berjalan --atau melakukan aktivitas fisik lainnya-- adalah perilaku buruk dan tak sopan, karena bisa menunjukkan kalau Anda tidak menghargai makanan Anda.

Bagi sebagian orang, keyakinan ini berakar pada Perang Dunia II, ketika stok makanan langka.

Terjadi Juga di Negara Lain

Jajanan Street Food
Ilustrasi/copyright unsplash.com/Agathe Marthy

Masalah turis makan sambil jalan bukan persoalan utama di Jepang.

Di Florence, Italia, bagian dari pusat kota memiliki larangan untuk tidak makan dan minum di trotoar, jalan raya dan di depan pintu toko serta rumah-rumah.

Hal ini bukan hanya tentang kebersihan, namun juga disebabkan oleh aktivitas di sana yang sangat sibuk dan ramai, dan wisatawan yang duduk di trotoar membuat orang lain sulit untuk lewat atau berjalan.

Dalam kasus di Florence, pembatasan tersebut disertai dengan denda yang mahal, yaitu 500 euro atau sekitar Rp 8 juta.

Sementara itu, sebuah kota dengan jajan pinggir jalan (street food) terbaik di dunia, Bangkok, telah mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan dengan pasar dan kedai makanannya selama beberapa waktu.

Beberapa penduduk setempat menginginkan pembatasan atau bahkan penutupan dari kedai-kedai itu, karena kerumunan orang yang terus bertambah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya