Kisah Dokter Myanmar, Lisensi Dicabut Gara-Gara Pamerkan Foto Syur

Ini kisah perjalanan hidup seorang dokter di Myanmar, dari siswa berprestasi hingga lisensi dicabut karena berfoto seksi.

oleh Siti Khotimah diperbarui 24 Jun 2019, 17:15 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2019, 17:15 WIB
Ilustrasi Tulisan Tangan Dokter dan Dokter (iStockphoto)
Ilustrasi dokter (Ilustrasi / iStockphoto).

Liputan6.com, Naypyitaw - Nang Mwe San adalah salah satu siswa berprestasi saat duduk di bangku sekolah menengah di Myanmar. Ia kemudian memenuhi harapan orangtuanya untuk menjadi dokter. Mimpi ayah dan ibunya diwujudkan dalam usia yang masih belia, yakni 22 tahun.

Ia kemudian bekerja di sebuah lembaga medis nirlaba di Myanmar, selama beberapa tahun merawat pasien. Namun sejak dua tahun lalu, ia telah memposting foto-foto seksi di halaman Facebook-nya. Menjadi model dewasa adalah apa yang ia inginkan.

"Ini adalah hasrat saya," katanya seperti diwartakan oleh New York Times dikutip Senin (24/6/2019). "Saya merasa lebih nyaman dan senang bekerja sebagai model."

Namun langkah sang dokter yang mengunggah foto-foto dengan bikini di beranda Facebook-nya membuat geram Dewan Medis Myanmar. Ia diperingatkan untuk menghapus konten miliknya. Saat Nang Mwe San tak mengindahkan saran itu, tiba-tiba lisensi dokternya dicabut. Ia resmi dipecat sebagai tenaga medis, baru-baru ini.

"Tidak ada yang berbicara tentang apa yang terjadi di Rakhine, tetapi mereka semua berbicara tentang moral publik tentang baju renang," kata David Mathieson, seorang analis politik independen di Yangon, kota terbesar di negara itu.

"Seorang wanita muda yang menarik dalam bikini dianggap tidak bermoral, tetapi apakah mengobarkan perang brutal dan melakukan pembersihan etnis besar-besaran sepenuhnya sejalan dengan nilai-nilai Myanmar?" katanya.

Tanggapan Nang Mwe San

Liputan 6 default 4
Ilustraasi foto Liputan 6

Pertikaian mengenai foto-foto Nang Mwe San telah menarik banyak perhatian, melebihi kasus pembersihan etnis di wilayah Rakhine.

Saat ditanya tentang apa yang menimpanya, dr. Mwe San menyoroti patriarki yang berakar dalam negerinya dan sistem perawatan kesehatan yang kekurangan dana.

"Di sini ada begitu banyak seksisme," tutur Mwe San yang kini berusia 29 tahun, mengatakan dalam sebuah wawancara. "Mereka tidak ingin wanita memiliki posisi lebih tinggi. Dan mereka menilai wanita dari apa yang kita kenakan. Mereka bahkan tidak ingin kita memakai celana panjang."

Mwe San berencana untuk mengajukan banding atas lisensinya yang dicabut. Ia ingin memperjuangkan izin medisnya, sehingga dapat bekerja sebagai dokter kembali suatu hari nanti, mungkin sebagai sukarelawan. Khususnya, setelah karier modeling-nya berakhir.

"Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyelamatkannya (lisensi) karena saya telah menghabiskan banyak waktu dan bekerja keras untuk mendapatkannya," katanya.

Keadaan perempuan di Myanmar juga menjadi sorotan oleh media internasional. Pria memegang sebagian besar posisi kekuasaan di seluruh penjuru negeri. Adapun dalam Dewan Medis, dipimpin oleh seorang pria, terdiri dari 11 pria dan dua wanita.

Pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang berbagi kekuasaan dengan militer adalah seorang kepala pemerintahan perempuan yang langka. Ia adalah satu-satunya perempuan dalam kabinetnya sendiri.

Pelecehan seksual terhadap perempuan adalah hal biasa di Myanmar dan biasanya tidak dihukum. Adapun saat ingin belajar di sekolah kedokteran, perempuan harus memiliki nilai yang lebih tinggi daripada pria.

Kondisi Tenaga Medis di Myanmar

kanker serviks
ilustrasi dokter/Photo by rawpixel.com from Pexels

Pencabutan lisensi Mwe San tampaknya bertentangan dengan kebutuhan sistem perawatan kesehatan di negara itu. Para pejabat mengatakan Myanmar, dengan populasi 53 juta, hanya memiliki setengah dari jumlah dokter yang dibutuhkan.

Selama beberapa dekade kediktatoran militer, Myanmar mengabaikan sistem perawatan kesehatannya. Aung San Suu Kyi telah mencurahkan lebih banyak sumber daya untuk bidang itu, tetapi hasilnya tak kunjung terlihat.

Banyak orang tidak mampu mengunjungi dokter, dan beberapa pasien mengatakan mereka harus membayar suap untuk mendapatkan perawatan yang baik di rumah sakit pemerintah. Sementara orang yang lebih kaya dapat dirawat di rumah sakit swasta, staf dan fasilitas di rumah sakit pemerintah sangat tidak memadai. Beberapa rumah sakit terlalu padat sehingga pasien dapat tidur di bangku yang ada di lorong.

Kedokteran dianggap sebagai pekerjaan yang prestisius di negara itu. Sayang, banyak yang meninggalkan profesi setelah menjadi dokter karena mendapatkan gaji yang rendah.

Dokter baru dibayar hanya US$ 160 (Rp 2.264.000) sebulan di rumah sakit pemerintah dan dua kali lipat di rumah sakit swasta. Adapun sebagian besar dokter ingin bekerja hanya di kota-kota, hanya sedikit yang ingin melayani desa.

Dr. Mwe San sendiri mengatakan, ia mendapatkan lebih banyak uang sebagai model daripada saat menjadi dokter, dan bahwa ia lebih menikmati pekerjaan itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya