Liputan6.com, Washington, DC - Ketika Donald Trump duduk bersama pemimpin dunia di Paris akhir pekan lalu, mengagumi katedral Notre Dame yang baru saja dibuka kembali, di Suriah, kelompok pemberontak tengah bergerak menuju Damaskus untuk menjatuhkan rezim Bashar al-Assad.
Meski sedang menghadiri acara seremoni di Paris, presiden terpilih Amerika Serikat (AS) itu tetap memperhatikan peristiwa yang luar biasa di Timur Tengah.
Advertisement
Baca Juga
"Suriah kacau, namun bukan teman kita," tulisnya di jejaring sosial miliknya, Truth Social. Dia menambahkan, "Amerika Serikat tidak perlu terlibat. Itu bukan perang kita. Biarkan saja itu berjalan. Jangan terlibat!"
Advertisement
Unggahan Trump memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar: Setelah jatuhnya pemerintahan Assad, apakah Trump benar-benar menghindari keterlibatan di Suriah? Apakah dia akan menarik pasukan AS? Dan apakah kebijakannya akan berbeda jauh dari kebijakan Joe Biden?
Mengutip BBC, Sabtu (14/12), pemerintahan Biden dilaporkan tengah sibuk berupaya mencari dukungan dari negara-negara Arab dan muslim untuk menetapkan syarat dalam pengakuan terhadap pemerintah Suriah yang baru, yang dipimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok bersenjata yang oleh AS dianggap sebagai organisasi teroris. Syarat-syarat tersebut termasuk transparansi, inklusivitas, serta penghancuran senjata kimia dan biologi.
Mike Waltz, calon penasihat keamanan nasional Trump, menegaskan bahwa Trump terpilih dengan mandat untuk menghindari perang baru di Timur Tengah. Kepentingan inti AS di sana, sebut Waltz, adalah ISIS, Israel, dan negara-negara Teluk sekutu AS.
Komentar Waltz menggambarkan pandangan Trump tentang Suriah sebagai bagian kecil dalam kebijakan regional yang lebih besar. Tujuan utamanya adalah memastikan sisa-sisa kelompok ISIS tetap terkendali dan bahwa pemerintahan baru di Damaskus tidak mengancam sekutu utama AS, Israel.
Trump juga fokus mewujudkan apa yang dia anggap sebagai pencapaian terbesar: sebuah kesepakatan diplomatik dan perdagangan bersejarah untuk menormalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi, yang menurutnya akan semakin melemahkan dan mempermalukan Iran.
Sisanya, Trump diyakini memandang kekacauan harus diselesaikan oleh Suriah sendiri.
Pasukan AS di Suriah
Retorika Trump mengingatkan pada cara dia berbicara tentang Suriah selama masa jabatannya yang pertama, ketika dia mengejek negara —yang memiliki sejarah budaya luar biasa yang sudah berlangsung selama ribuan tahun— tersebut sebagai tanah "pasir dan kematian".
"Donald Trump sendiri, saya rasa, benar-benar ingin sedikit terlibat dengan Suriah selama pemerintahan pertamanya," kata Robert Ford, yang menjabat sebagai duta besar untuk Suriah pada era Barack Obama, tepatnya dari 2011 hingga 2014.
Ford adalah sosok yang mendorong agar AS lebih terlibat dalam mendukung kelompok oposisi moderat Suriah untuk melawan penindasan brutal yang dilakukan Assad terhadap rakyatnya.
"Namun, ada orang lain di lingkarannya yang jauh lebih khawatir tentang kontra-terorisme," tambah Ford.
Saat ini, AS memiliki sekitar 900 tentara di Suriah, terutama di timur Sungai Efrat dan di zona 'de-konflik' sepanjang 55 km yang berbatasan dengan Irak serta Yordania.. Misi utama mereka adalah melawan kelompok ISIS yang kini sudah jauh berkurang serta melatih dan mempersenjatai Pasukan Demokratik Suriah (SDF)—sekutu Kurdi dan Arab yang menguasai wilayah tersebut. SDF juga menjaga kamp-kamp yang berisi anggota ISIS dan keluarga mereka.
Namun, di lapangan, keterlibatan AS disebut melampaui itu. Yang lainnya, termasuk membantu memblokir jalur transit senjata yang berpotensi digunakan oleh Iran untuk memasok sekutunya, Hizbullah.
Ford, seperti banyak analis lainnya, percaya bahwa meskipun naluri isolasionis Trump sangat tampak di media sosial, kenyataan di lapangan dan pandangan timnya sendiri bisa membuat sikapnya menjadi lebih moderat. Pandangan ini juga didukung oleh Wa'el Alzayat, mantan penasihat untuk urusan Suriah di Kementerian Luar Negeri AS
"Dia memilih beberapa orang yang benar-benar berkompeten untuk menangani urusan Timur Tengah dalam pemerintahannya," kata Alzayat kepada BBC, seraya menambahkan bahwa Senator Marco Rubio, yang dicalonkan Trump untuk menjadi menteri luar negerinya, adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam kebijakan luar negeri.
Advertisement
Potensi Trump Buat Kesepakatan dengan Turki
Dukungan AS terhadap SDF telah lama menjadi sumber ketegangan dengan Turki, yang menganggap Unit Perlindungan Rakyat (YPG)—pasukan Kurdi yang menjadi tulang punggung militer SDF—sebagai organisasi teroris.
Sejak jatuhnya Assad, Turki telah melakukan serangan udara untuk memaksa pasukan Kurdi keluar dari daerah strategis, termasuk Kota Manbij.
Trump disebut tidak menutup kemungkinan membuat kesepakatan dengan Ankara yang memungkinkannya menarik pasukan AS dan dapat memperkuat posisi Turki lebih lanjut.
Namun, kemungkinan kelompok-kelompok yang didukung Turki mengambil kendali beberapa wilayah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, termasuk Alzayat.
"Anda tidak bisa memiliki kelompok yang berbeda mengendalikan bagian-bagian berbeda negara, mengendalikan sumber daya yang berbeda," ujarnya.
"Ini adalah proses politik, yang menurut saya AS seharusnya memiliki peran di dalamnya, atau jika tidak, akan ada alternatif lainnya. Saya berharap mereka dapat menghindari skenario alternatif tersebut."
Â