Liputan6.com, New Delhi - Dunia antariksa belum lama ini dibuat kaget dengan gagalnya upaya pendaratan pesawat ruang angkasa Israel, Beresheet, di Bulan pada 11 April 2019.
Mesin kendaraan tersebut dilaporkan mengalami kerusakan parah saat bersiap untuk mendarat di permukaan satelit alami Bumi, ketika berada di orbit Bulan, akhirnya jatuh dan hancur.
Menyusul Israel, India pun bernasib sama. Misi pendaratan kedua di Bulan, Chandrayaan-2, melalui lander Vikram, nyaris berhasil menginjakkan kakinya di Bulan pada 7 September 2019.
Advertisement
Nahas, Indian Space Research Organisation (ISRO) mengabarkan pada hari itu juga bahwa mereka kehilangan kontak dengan Vikram saat wahana ini sedang lepas landas menuju Kutub Selatan untuk soft landing.
Baca Juga
Padahal, apabila berhasil, India akan berada di posisi keempat dunia sebagai negara yang sukses mendaratkan misinya dengan mulus di Bulan. Terlebih, titik tujuan mereka berada di tempat yang belum pernah dicapai oleh bangsa lain sebelumnya.
Hingga sekarang, China masih menjadi negara 'penutup episode misi ke Bulan' dengan menempatkan Chang'e-4, sejenis kendaraan jelajah antariksa, di sisi belakang Bulan untuk pertama kalinya pada 3 Januari 2019.
Pendaratan itu adalah salah satu dari serangkaian misi yang menggarisbawahi ambisi China untuk bergabung --dan bahkan memimpin-- perlombaan teknologi angkasa luar.
China sebelumnya pernah mendaratkan penjelajah lain di Bulan pada 2013, bergabung bersama Amerika Serikat dan Uni Soviet yang merupakan negara-negara yang melakukan "pendaratan lunak" di sana. Akan tetapi, Chang'e-4 adalah wahana pertama yang mendarat di sisi Bulan yang selalu menghadap jauh dari Bumi.
Ini semua membuat para ahli teringat pada masa lalu, terlepas dari kenyataan bahwa manusia pernah mendarat di Bulan berkali-kali, dengan mudahnya, selama misi Apollo yang dijalankan oleh Amerika Serikat pada dan setelah 50 tahun silam.
Dari 30 upaya pendaratan lunak yang dilakukan oleh agensi-agensi antariksa dan perusahaan-perusahaan terkait di seluruh dunia, lebih dari sepertiganya berakhir dengan kegagalan.
Lantas, mengapa sekarang Bulan tampak sukar untuk dihinggapi dan bahkan ditapaki?
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Melaju dengan Kecepatan Penuh?
Menurut analisis dari Insinyur ruang angkasa NASA, Alicia Dwyer, di Langley Research Center, Hampton, Virginia, tidak ada satupun peristiwa khusus yang bertanggung jawab atas banyaknya rentetan kegagalan tersebut.
Untuk mendarat di Bulan, begitu banyak hal harus dilalui oleh sebuah misi dengan urutan yang tepat. "Jika salah satu dari robot atau wahana yang ia bawa tidak berada di posisinya dengan pas, maka saat itulah masalah dimulai," ujarnya dikutip dari Live Science, Selasa (17/9/2019).
Pertama, ada problem untuk masuk ke orbit Bulan, yang bukan persoalan kecil.
Contohnya, roket pembawa Apollo 11, Saturn V, dikemas cukup propelan untuk mengangkut Neil Armstrong cs terbang ke Bulan hanya dalam waktu tiga hari.
Di sisi lain, dengan alasan "penghematan bahan bakar", roket Geosynchronous Satellite Launch Vehicle Mk III yang membawa misi Chandrayaan-2, justru memilih untuk menggunakan jalur yang jauh, lebih berputar, dan membutuhkan waktu lebih dari sebulan untuk mencapai orbit Bulan saja.
Begitu berada di sana, pesawat ruang angkasa itu tetap berhubungan dengan Bumi menggunakan Deep Space Network milik NASA yang terdiri dari tiga fasilitas di berbagai belahan dunia, yang diisi dengan piringan parabola yang terus-menerus berkomunikasi dengan robot-robot pengintai di angkasa luar.
ISRO kehilangan kontak dengan Vikram ketika wahana ini berada hanya 1,2 mil (2 kilometer) di atas permukaan Bulan.
Kesalahan fatalnya adalah ketika sebuah probe melesat kencang menuju tempat pendaratannya dengan kecepatan seperti rudal, instrumen transmisi data yang salah dapat menyebabkan mesin mati total. Inilah yang menimpa Beresheet, menurut The Times of Israel --dan kemungkinan Vikram.
Â
Advertisement
Kerja Sama dengan Perushaan Komersil
Di Bumi, para insinyur mungkin bisa mengandalkan GPS untuk membantu memandu kendaraan-kendaraan antariksa tersebut, tetapi sistem-sistem ini tidak disesuaikan dengan objek-objek langit lainnya, kata Dwyer Cianciolo.
"Ketika Anda bepergian dengan cepat dan harus melambat dalam ruang hampa, di mana Anda memiliki informasi yang sangat minim, maka sulit untuk menentukan apa yang harus Anda lakukan," tambahnya.
NASA saat ini sedang membangun kerja sama dengan perusahaan-perusahaan komersial, seperti SpaceX, untuk mengirimkan robot lain ke Bulan pada tahun-tahun mendatang. Navigator masa depan ini harus bisa mempercayai sensor mereka, menurut Cianciolo.
Itu sebabnya, NASA memilih untuk merancang instrumen yang dapat diletakkan di bawah kendaraan antariksa tersebut untuk memindai medan 'dunia lain' dari batu, kawah dan bahaya lainnya, serta membuat koreksi arah yang dapat digunakan pada pesawat ruang angkasa pribadi maupun pada misi-misi NASA di waktu yang akan datang. Teknologi ini akan diuji pada 2020.