Kemlu RI: Isu Papua Tak Ada di Sidang Majelis Umum PBB

Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah menekankan bahwa isu Papua tidak dan tidak akan dibahas dalam pertemuan tahunan Sidang Majelis Umum PBB.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 25 Sep 2019, 18:12 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2019, 18:12 WIB
Sidang darurat Majelis Umum PBB di New York (21/12/2017).
Ruang Sidang Majelis Umum PBB (AP Photo / Mark Lennihan)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah menekankan bahwa isu Papua tidak dibahas dalam pertemuan tahunan Sidang Majelis Umum PBB.

Hal itu disampaikannya atas kabar yang menyebut bahwa demonstrasi berujung ricuh di Wamena pada 23 September --yang menewaskan 26 orang dan melukai puluhan lainnya-- 'dirancang' agar isu Papua dibahas di pertemuan PBB.

Menko Polhukam Wiranto, pada 24 September, mengindikasikan apa yang terjadi di Wamena, menyangkut sidang Majelis Umum PBB yang dibuka awal pekan ini.

"Pasti ini menyangkut apa yang sedang kita laksanakan di New York," jelas Wiranto.

Sementara, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menilai, ada indikasi provokasi dari pihak asing terkait kerusuhan di Wamena, Papua. Dia mengungkapkan," ada pihak yang ingin membuat Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, sehingga, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua ditangani oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)."

Kata Kemlu RI

Plt Jubir Kemlu RI Teuku Faizasyah menjelaskan:

"Yang lebih berkompetensi untuk menjawab mungkin adalah Pak Wiranto ya, selaku penyambung perkembangan (isu Papua) di dalam dan luar negeri."

"Tapi yang saya garis bawahi adalah, selama rangkaian sidang Majelis Umum PBB (2019), tidak sama sekali ada agenda atau pembahasan soal Papua," tambah Faizasyah pada sela-sela agenda di Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Namun, diperkirakan bahwa satu-dua negara akan mengangkat isu Papua dan Papua Barat di sidang majelis umum --bercermin dari tahun lalu, ketika Vanuatu membahas hal tersebut dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-73.

Merespons soal adanya kejadian berulang, Faizasyah menjelaskan:

"Hanya satu negara Pasifik itu sebenarnya yang selama ini usil dengan mengangkat isu Papua (di Majelis Umum PBB). Kalau (ada) diangkat (isu Papua), Indonesia punya hak untuk menjawab (right of reply), memberikan tanggapan dan meluruskan apabila ada hal-hal yang (dibahas di majelis umum) mengaitkan dengan kepentingan politik domestik negara itu."

Delegasi Indonesia di sidang tahun ini dipimpin oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan sejumlah menteri/pejabat tinggi lain turut mendampingi Wapres JK.

Simak video pilihan berikut:

Kejadian Tahun Lalu

Gedung Pancasila dan Ilustrasi Bendera Indonesia (Liputan6.com/Gempur M Surya)
Gedung Pancasila dan Ilustrasi Bendera Indonesia (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Tahun lalu, ketika Vanuatu membahas isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB ke-73, delegasi Indonesia menggunakan right of reply sebanyak dua kali untuk mengecam langkah negara Pasifik tersebut, sekaligus "memberikan penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya" di Bumi Cendrawasih.

"Meskipun disamarkan dengan keprihatinan hak asasi manusia yang berbunga-bunga, niat dan tindakan tunggal Vanuatu secara langsung menantang prinsip-prinsip hubungan persahabatan yang disepakati secara internasional antara negara, kedaulatan dan integritas teritorial," kata delegasi Indonesia di PBB, Aloysius Selwas Taborat dalam penyampaian right of reply kedua kepada Vanuatu pada Oktober 2018 --seperti dikutip dari the Guardian.

Aloysius mengatakan, Vanuatu berulang kali mendukung gerakan separatis dan dia mempertanyakan perilakunya sebagai "negara yang taat hukum internasional".

"Dukungan yang tidak dapat dimaafkan ini bagi individu separatis jelas ditunjukkan dengan dimasukkannya sejumlah orang dengan catatan kriminal serius dan agenda separatis dalam delegasi mereka ke PBB."

Taborat mengatakan bahwa rakyat Papua telah "sekali dan untuk semua menegaskan kembali Papua adalah bagian yang tidak dapat dibatalkan dari Indonesia" dan bahwa itu "final, tidak dapat dibalikkan dan permanen", merujuk pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera atau Act of Free Choice) 1969 yang diadopsi menjadi Resolusi Majelis Umum PBB 2504.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya