Liputan6.com, Nasiriya - Pasukan keamanan Irak, pada Kamis 28 November 2019, menembak 44 orang hingga tewas di selatan negara itu, dalam salah satu kekerasan paling berdarah sejak protes anti-pemerintah meletus pada awal Oktober 2019.
Sedikitnya 33 pengunjuk rasa dilaporkan tewas di kota Nasiriya setelah pasukan keamanan menggunakan amunisi langsung dan tabung gas air mata pada kerumunan.
Advertisement
Baca Juga
Sebelas orang lainnya tewas di Najaf, salah satu kota suci Syiah Irak, tempat konsulat Iran dibakar sehari sebelumnya oleh pengunjuk rasa yang marah.
Sementara itu, setidaknya 233 orang terluka dalam tindakan keras terhadap protes di Nasiriya, kata sejumlah narasumber keamanan, seperti dilansir Al Jazeera, Jumat (29/11/2019).
Sebagai respons, Pemerintah Irak telah memecat Letnan Jenderal Jamil al-Shammari, hanya sehari setelah pengangkatannya dan diberi mandat tugas untuk mengelola kerusuhan di provinsi Dhi Qar, di mana Nasiriya adalah ibu kotanya.
Di tengah meningkatnya protes di selatan negara itu, pihak berwenang di ibu kota Baghdad mengirim pasukan untuk "memulihkan ketertiban" di sana, yang telah menyaksikan protes besar selama berminggu-minggu.
Simak video pilihan berikut:
Tidak Takut
Hussein, seorang pengacara berusia 32 tahun dari Nasiriya yang berada di lokasi protes, menyalahkan pasukan keamanan atas apa yang disebutnya "pertumpahan darah".
"Apa yang terjadi di Nasiriya tidak dapat dipercaya. Tidak ada yang membenarkan penggunaan kekerasan terhadap kita. Kita, rakyat, sangat marah. Darah kita mendidih. Saudara-saudara kita terbunuh secara tidak adil," jelasnya.
"Tapi penggunaan kekuatan ini tidak akan membuat kita takut. Banyak dari kita pergi ke jalan-jalan untuk menuntut keadilan bagi mereka yang telah terbunuh."
Gubernur Dhi Qar, Adel al-Dukhali, yang sebelumnya menyalahkan komandan militer atas kekerasan mematikan, mengundurkan diri sebagai protes terhadap pembunuhan tersebut.
Al-Dukhali telah menyerukan penyelidikan atas apa yang ia sebut sebagai penggunaan kekuatan "yang tidak dapat diterima" terhadap para pemrotes.
Advertisement
Iran Merespons
Peristiwa di Nasiriya terjadi sehari setelah pengunjuk rasa anti-pemerintah menyerbu dan membakar konsulat Iran di Najaf, dalam ekspresi terkuat sentimen anti-Iran oleh pengunjuk rasa Irak, yang telah turun ke jalan-jalan di Baghdad dan Irak, terutama di wilayah selatan yang mayoritas Syiah, sejak awal Oktober.
Lebih dari 360 orang telah terbunuh dan sekitar 15.000 terluka sejauh ini.
Pihak berwenang Irak menanggapi dengan mengutuk serangan itu dan memberlakukan jam malam di Najaf, sementara Iran menuntut agar Irak mengambil tindakan tegas terhadap "agresor" di balik serangan pembakaran.
Juru bicara kementerian luar negeri Iran Abbas Mousavi, yang dikutip oleh kantor berita IRNA, mengutuk serangan itu dan "menuntut tindakan tegas, efektif dan bertanggung jawab ... terhadap agen dan penyerang yang merusak".
Serangan Najaf hari Rabu adalah yang kedua dari jenisnya bulan ini setelah pengunjuk rasa menargetkan konsulat Iran di kota suci Irak Karbala pada 4 November.
Para pemrotes mengadakan demonstrasi di Najaf tengah ketika sebuah kelompok mulai menutup jalan-jalan utama dan membakar ban mobil polisi.
Seorang saksi mata mengatakan kepada Al Jazeera "pasukan keamanan merespons dengan menggunakan gas air mata dan bom suara untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang berlari menuju kedutaan Iran".
"Para pengunjuk rasa marah oleh pasukan keamanan yang mencoba membubarkan demonstrasi. Mereka mulai membakar ban di dekat konsulat dan akhirnya membakar konsulat, beberapa menit setelah staf konsulat mengevakuasi gedung," kata sumber itu.
Mengomentari perkembangan itu, analis Irak Jasim Moussawi mengatakan para pengunjuk rasa membakar konsulat adalah upaya untuk menodai hubungan historis antara Teheran dan Baghdad.
"Mereka yang bertanggung jawab untuk membakar konsulat Iran di Najaf memiliki pesan yang sama dengan mereka yang melakukannya di Karbala. Pesan mereka adalah peringatan terhadap intervensi Iran dalam urusan internal Irak," kata Moussawi kepada Al Jazeera
Kekerasan itu akan mendorong pemerintah untuk mengizinkan pasukan keamanan menggunakan lebih banyak kekuatan untuk memadamkan protes, katanya.