Ketika Robot Menjaga Iklim dengan Kurangi Limbah Industri Fashion

Industri fashion sepertinya berkontribusi lebih banyak terhadap perubahan iklim daripada penggabungan semua penerbangan internasional dan pengiriman maritim.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Des 2019, 20:40 WIB
Diterbitkan 04 Des 2019, 20:40 WIB
“Fashion memiliki volume tinggi, bernilai rendah, dan penuh aliran limbah. Ada banyak hal, namun tidak bernilai,” kata Mart Drake-Knight, pendiri Teemill.
“Fashion memiliki volume tinggi, bernilai rendah, dan penuh aliran limbah. Ada banyak hal, namun tidak bernilai,” kata Mart Drake-Knight, pendiri Teemill. (Liputan6.com/Instagram/Teemillstore)

Liputan6.com, Inggris - Industri fashion berkontribusi lebih banyak terhadap perubahan iklim daripada penggabungan semua penerbangan internasional dan pengiriman maritim. Data PBB menunjukkan industri fashion menghasilkan 20% air limbah dan 10% emisi karbon secara global.

"Fashion memiliki volume tinggi, bernilai rendah, dan penuh aliran limbah. Ada banyak hal, namun tidak bernilai," kata Mart Drake-Knight, pendiri Teemill, perusahaan rintisan di Inggris yang memproduksi dan mendaur ulang t-shirt menggunakan energi terbaru dan teknologi untuk meminimalkan limbah.

Dia mengklaim, tiga dari setiap lima kaos yang dibeli hari ini akan dibuang dalam waktu satu tahun. Banyak pakaian yang bahkan belum digunakan sebelum menuju ke tempat pembuangan.

Untuk mengatasinya, item Teemill diproduksi secara real time dan sesuai permintaan di pabrik mereka di Isle of Wight, di selatan Inggris, dengan bantuan puluhan perangkat robot cerdas buatan.

Siapa pun yang memiliki koneksi internet dapat merancang dan menjual kemeja melalui situs web Teemill.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Brand ternama juga merespons

Diharapkan, konsumen menjadi lebih sadar akan biaya lingkungan untuk memproduksi pakaian murah dalam jumlah besar, dan mampu membentuk kebiasaan yang lebih baik seperti membeli pakaian bekas.
Diharapkan, konsumen menjadi lebih sadar akan biaya lingkungan untuk memproduksi pakaian murah dalam jumlah besar, dan mampu membentuk kebiasaan yang lebih baik seperti membeli pakaian bekas. (Liputan6.com/Twitter/@hmindonesia_)

Zara berjanji pada 2025 mereka hanya akan menggunakan katun, linen dan poliester organik, dan melakukan daur ulang berkelanjutan untuk membuat pakaiannya. H&M (HMRZF) pun juga berjanji untuk melakukan hal yang sama pada tahun 2030.

Nike (NKE) akan memberi daya 100% pada pabriknya dengan energi terbaru pada 2025, dan Adidas (ADDDF) akan menggandakan jumlah sepatu yang terbuat dari limbah plastik daur ulang.

Wrangler telah mengembangkan proses denim baru yang menghilangkan limbah air. Perbaikan industry fashion ini sedang didorong oleh teknologi baru yang dapat mengubah cara pakaian saat dirancang, diproduksi, dan dijual.

Diharapkan, konsumen menjadi lebih sadar akan biaya lingkungan untuk memproduksi pakaian murah dalam jumlah besar, dan mampu membentuk kebiasaan yang lebih baik seperti membeli pakaian bekas.

Mempertahankan Nilai Kaos

Teemill memberi insentif kepada pelanggan untuk mengembalikan barang-barang yang dibeli, dan menawarkan ongkos kirim gratis serta kredit toko.
Teemill memberi insentif kepada pelanggan untuk mengembalikan barang-barang yang dibeli, dan menawarkan ongkos kirim gratis serta kredit toko. (Liputan6.com/Instagram/Teemillstore)

Kaos umumnya akan berakhir menuju ke tempat sampah. Untuk mengatasi ini, Teemill memberi insentif kepada pelanggan untuk mengembalikan barang-barang yang dibeli, dan menawarkan ongkos kirim gratis serta kredit toko.

Karena produk Teemill terbuat dari bahan alami, serat dapat digunakan berulang kali. Hal ini juga berkontribusi pada tujuan perusahaan untuk menciptakan ekonomi sirkular, dan dengan melakukan ini, mereka bisa mempertahankan sebagian nilai t-shirt aslinya.

"Jika Anda melempar pakaian ke tempat sampah, semua nilai itu hilang selamanya," kata Mark Sumner, seorang dosen di bidang kesinambungan, ritel, dan mode di University of Leeds. "Jika kamu melakukan hal kuno seperti menyumbangkannya untuk amal, kamu tetap mempertahankan nilai dari pakaian itu."

Di pasar global seperti mode, dengan banyak pemasok dan pedagang di seluruh dunia, sulit bagi sebuah merek untuk sepenuhnya memahami rantai pasokan mereka sendiri dan mengukur dampak lingkungan.

 

Reporter: Deslita Krissanta Sibuea

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya