Liputan6.com, Seoul - Zaman sekarang, Bahasa Korea semakin populer di Indonesia. Penggunaan kata "hyung", "unnie", "oppa", dan "sarangheyo" sudah semakin umum.
Penggemar budaya Korea pasti paham istilah tepat bagi kata-kata itu bukanlah "bahasa Korea" melainkan aksara Hangul (Han-geul). Di Korsel, ada dua aksara: Hangul dan Hanja.
Advertisement
Baca Juga
Hanja diadaptasi dari aksara China. Dulunya, aksara Hanja hanya digunakan kalangan elit dan terpelajar saja, sebab rakyat biasa (commoner) tak punya akses untuk mempelajari aksara Hanja yang rumit.
Situasi itu diubah oleh Raja Sejong yang Agung. Ia adalah pemimpin Dinasti Joseon pada 1418-1450.
Sejong lahir pada 15 Mei 1397 di Hanseong (kini Seoul). Ia adalah putra ketiga dari Raja Taejong dari Dinasti Joseon dan naik takhta di usia 21 tahun.
Menurut situs Asia Society, Raja Sejong dikenal sebagai sosok terpelajar pada masanya. Kecerdasannya berhasil diterapkan ketika ia memerintah. Reformasi positif terjadi di sistem ekonomi, kesiapan bencana, dan edukasi.
Pencapaian bersejarah dari Raja Sejong adalah menciptakan sistem tulisan Hangul. Pasalnya, saat itu banyak rakyat biasa yang buta huruf karena tak bisa belajar Hanja.
Raja Sejong ingin ada sistem baru bukan karena dia tak mengerti aksara China. Ia justru cerdas di dunia sastra, tetapi ia ingin rakyat umum menikmati privilese bahasa.
Maka, ia diam-diam membuat sistem penulisan baru yang lebih mudah dipahami. Kenapa diam-diam? Sebab, Sejong tahu kaum elit pasti menentang kebijakan ini.
Berikut kisahnya:
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bahasa dan Privilese
Situs pemerintah Korsel menjelaskan, Hangul awalnya bernama Hoon Min Jung Um (훈민정음) yang kurang lebih berarti: "Huruf asli yang digunakan untuk mengajari rakyat."
Niat sistem Hangul jelas sangat baik, tetapi kalangan elit malah menentang keras sistem baru ini.
Raja Sejong ternyata sudah memprediksi bahwa kaum elit pasti pasti akan tidak suka. Untuk itulah pembuatan sistem ini diusahakan secara rahasia.
Mengapa kaum elit tidak suka? Saat itu bahasa adalah unsur penting bagi strata sosial Joseon.
Orang yang boleh ikut ujian masuk pemerintahan hanya mereka yang paham aksara Hanja, sehingga menguntungkan kelas atas. Otomatis rakyat biasa kesulitan untuk meningkatkan taraf sosial dan ekonomi mereka.
Raja Sejong dibantu dua putranya berhasil menyelesaikan sistem Hangul pada 1443 dan mulai mempromosikannya.
Elit Menentang
Begitu Hangul mulai beredar, kaum kelas atas protes kepada Raja Sejong dan ingin menyetop proyek bahasa itu. Aksara China tetap dipandang lebih bagus dan kelas atas ogah memakai Hangul.
Meski diterpa protes "netizen", Raja Sejong kukuh mengajarkan Hangul.
Ada cerita bahwa aksara Hangul dijuluki Amkul (암클) atau aksara perempuan, karena saat itu banyak dipakai perempuan.
Ada pula yang menjulukinya Ahatkul (아했글) atau aksara anak-anak, karena dipakai anak-anak yang tak belajar huruf China.
Namun, tak ada bukti konkret sejarah kapan dua istilah meledek itu dipakai.
Ratusan tahun kemudian, penolakan kaum elit Joseon hanya menjadi catatan sejarah saja. Terbukti, film, buku, maupun lagu Korea zaman sekarang memakai Hangul.
Setiap 9 Oktober, Korsel pun merayakan Hari Hangul untuk merayakan sistem penulisan ini.
Advertisement