Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya menandatangani perintah eksekutif terkait reformasi kepolisian di tengah seruan untuk mengambil tindakan terhadap kebrutalan dan rasisme polisi. Trump sempat bersikeras menolak reformasi polisi.
Penandatanganan tersebut dilakukan pada Selasa 16 Juni waktu setempat, tepat tiga pekan pascakematian George Floyd, seorang pria Amerika keturunan Afrika berusia 46 tahun, saat dalam penangkapan polisi Minneapolis yang memicu unjuk rasa di seluruh penjuru AS.
Advertisement
Perintah eksekutif ini berfokus pada tiga hal, yaitu penetapan kualifikasi dan sertifikasi petugas polisi, peningkatan pertukaran informasi untuk melacak petugas yang dituduh menggunakan kekuatan berlebihan, serta pembuatan program co-reponderterkait kesehatan mental, kecanduan narkoba, maupun tunawisma.
Perintah eksekutif tersebut juga menguraikan bahwa departemen kepolisian "tidak boleh mengizinkan praktik chokehold (pencekikan), manuver fisik untuk membatasi kemampuan individu bernapas yang bertujuan melumpuhkan individu tersebut, kecuali dalam situasi di mana penggunaan kekuatan mematikan diizinkan oleh hukum."
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Belum Cukup
Chuck Schumer, pemimpin minoritas di Senat AS, pada Selasa menilai perintah eksekutif Trump ini masih belum cukup.
"Meskipun presiden pada akhirnya mengakui perlunya reformasi kepolisian, satu perintah eksekutif sederhana tidak akan membayar retorika dan kebijakannya yang demagogis selama beberapa tahun, yang dirancang untuk membalikkan kemajuan yang telah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya," ujar Schumer dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Xinhua, Rabu (17/6/2020).
"Sayangnya, perintah eksekutif ini tidak akan menciptakan perubahan berarti secara komprehensif dan akuntabilitas di departemen kepolisian negara kita sebagaimana tuntutan warga Amerika," imbuh anggota Partai Demokrat di New York tersebut.
"Kongres perlu segera meloloskan undang-undang yang kuat dan berani dengan ketetapan yang memudahkan proses penahanan petugas polisi yang bertanggung jawab atas pelanggaran, dan Presiden Trump harus berkomitmen menandatanganinya menjadi hukum."
Advertisement
Kasus George Floyd
Floyd meninggal saat dalam penangkapannya di Minneapolis, Minnesota, akhir bulan lalu setelah seorang petugas polisi menindih lehernya dengan lutut selama hampir sembilan menit.
Aksi unjuk rasa memprotes kematian Floyd dan secara lebih luas menentang kekerasan polisi tak hanya terjadi di seluruh Amerika Serikat, namun juga menyebar ke beberapa negara lain.