Sekjen PBB Soal Korupsi Penanganan COVID-19: Aksi Merusak di Tengah Krisis

Sekjen PBB mengatakan, korupsi dalam konteks penanganan COVID-19 adalah tindakan kriminal, tidak bermoral dan pengkhianatan terakhir atas kepercayaan publik.

oleh Hariz Barak diperbarui 06 Des 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 06 Des 2020, 15:00 WIB
Sekjen PBB Antonio Guterres berbicara di hadapan DK PBB (AP)
Sekjen PBB Antonio Guterres berbicara di hadapan DK PBB (AP)

Liputan6.com, New York - Korupsi adalah kriminal, tidak bermoral dan pengkhianatan terakhir atas kepercayaan publik, kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada 15 Oktober 2020 lalu dalam pernyataannya terkait dengan kasus rasuah dalam upaya penanganan pandemi COVID-19.

"(Aksi) ini bahkan lebih merusak di saat krisis - saat dunia sekarang menghadapi pandemi COVID-19," ujarnya dalam naskah The Secretary-General - Statement on Corruption in the Context of COVID-19, dikutip dari UNODC.org pada Minggu (6/12/2020).

Pernyataan Guterres dua bulan lalu semakin relevan menyusul penetapan Menteri Sosial RI Juliari Batubara sebagai tersangka suap korupsi dana bantuan sosial COVID-19. 

Juliari disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Kasus ini menambah deretan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penanganan pandemi COVID-19 di dunia.

Dalam pernyataannya, Guterres menilai bahwa upaya penanganan virus bisa menciptakan peluang baru untuk mengeksploitasi pengawasan yang lemah dan transparansi yang tidak memadai, mengalihkan dana dari orang-orang pada saat mereka paling membutuhkan.

"Pemerintah juga dapat bertindak tergesa-gesa tanpa memverifikasi pemasok atau menentukan harga yang wajar."

"Pedagang yang tidak bermoral menjajakan produk yang salah seperti --ventilator yang rusak, tes yang diproduksi dengan buruk atau obat-obatan palsu."

"Dan kolusi di antara mereka yang mengontrol rantai pasokan telah menyebabkan harga barang-barang yang sangat dibutuhkan sangat mahal, mengganggu pasar, dan menolak perlakuan yang menyelamatkan jiwa banyak orang," jelas Guterres.

Ia berpesan bahwa dunia harus bekerja sama untuk menghentikan pencurian dan eksploitasi semacam itu, "dengan cara menekan aliran keuangan gelap dan suaka pajak; menangani kepentingan pribadi yang mendapatkan keuntungan dari kerahasiaan dan korupsi; dan menerapkan kewaspadaan sepenuhnya tentang bagaimana sumber daya digunakan secara nasional."

"Bersama-sama, kita harus menciptakan sistem yang lebih kuat untuk akuntabilitas, transparansi, dan integritas tanpa penundaan."

Ia juga mendesak agar publik senantiasa meminta pertanggungjawaban para pemimpin. "Pebisnis harus bertindak secara bertanggung jawab. Ruang sipil yang dinamis dan akses terbuka ke informasi akan menjadi sangat penting" di tengah pandemi ini, jelasnya.

"Dan kita harus melindungi hak dan mengakui keberanian whistleblower yang mengungkap kesalahan-kesalahan tersebut."

"Kemajuan teknologi dapat membantu meningkatkan transparansi dan memantau pengadaan persediaan medis dengan lebih baik."

"Badan antikorupsi juga membutuhkan dukungan dan pemberdayaan yang lebih besar."

Guterres menambahkan, PBB terus memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas, di dalam dan di luar respons COVID-19. Bagi banyak orang di semua wilayah, korupsi telah lama menjadi sumber ketidakpercayaan dan kemarahan terhadap para pemimpin dan pemerintah mereka.

Namun korupsi di masa COVID-19 berpotensi merusak tata kelola pemerintahan yang baik di seluruh dunia secara serius, "dan membuat kami semakin jauh keluar jalur dalam pekerjaan kami untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan."

"Saya mendorong semua pemerintah dan semua pemimpin untuk transparan dan bertanggungjawab, dan untuk menggunakan alat yang disediakan oleh Konvensi PBB Melawan Korupsi."

"Saat wabah kuno mengambil bentuk baru, mari kita perangi dengan tingkat ketetapan hati yang baru," jelas Sekjen PBB itu.

Simak video pilihan berikut:

Seperti RI dengan Mensos Juliari Batubara, 5 Negara Hadapi Korupsi Penanganan COVID-19

Mensos Juliari Batubara
Menteri Sosial Juliari P Batubara tiba di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020). Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial COVID-19 di Kementerian Sosial usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Kemensos. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sekjen PBB Antonio Guterres, pada 15 Oktober 2020, telah mengingatkan mengenai potensi maraknya kasus korupsi di tengah pandemi, menilainya sebagai perilaku "merusak pada masa-masa krisis" --ujarnya dalam pidato Statement on Corruption in the Context of COVID-19.

Perkiraan Guterres sedikit banyak telah terbukti. Tak hanya Indonesia, sejumlah negara di dunia juga menghadapi kasus korupsi yang berkaitan dengan upaya penanganan pandemi COVID-19.

Berikut 4 negara di antaranya, seperti dikutip dari berbagai sumber, Minggu (6/12/2020).

 

1. Bangladesh

Seperti dikutip dari Eastasiaforum.org, dugaan korupsi terkait dengan penanganan COVID-19 di Bangladesh meliputi penyelewangan distribusi bantuan sosial untuk warga miskin terdampak.

"Pada Mei 2020, pemerintah Bangladesh mengumumkan tujuh paket stimulus yang menargetkan berbagai sektor dan penerima manfaat. Tetapi sebagian besar paket ini tidak membantu orang miskin, dan sebaliknya diarahkan ke sektor garmen dan sektor industri dan layanan lainnya," kata peneliti sosial Lutfun Nahar Lata dari School of Social Science, University of Queensland (UQ) menulis untuk Eastasiaforum.org.

Pemerintah juga meluncurkan operasi Open Market Sale (OMS) khusus pada 6 April di tengah lockdown COVID-19. Program ini menjual beras hanya dengan US$ 0,12 per kilogram, tetapi orang-orang yang sangat lapar telah menyerang konvoi bantuan.

Sementara itu, lembaga penegak hukum mengejar ratusan pejabat terpilih, anggota partai yang berkuasa dan pemasok karena mencuri beras subsidi yang dimaksudkan untuk masyarakat miskin.

Pada 9 Juli, Daily Prothom Alo melaporkan bahwa wakil presiden Liga Petani Kota Rajshahi, cabang dari partai yang berkuasa, menerima US $ 30. Perbedaan serupa telah ditemukan di daerah lain, termasuk bantuan pangan. Setelah penyelidikan terhadap daftar penerima manfaat, Divisi Keuangan Bangladesh menurunkan 493.200 orang dari daftar karena mereka berasal dari keluarga yang baik. Ini menunjukkan bagaimana daftar penerima dipengaruhi oleh afiliasi politik rakyat daripada status ekonomi.

"Terlepas dari niat baik pemerintah dalam menawarkan paket stimulus bagi masyarakat miskin, mereka juga perlu mengatasi persoalan mengenai transparansi dan akuntabilitas," Lata mengatakan.

U4 Anti-Corruption Resource Centre, mengutip Presiden Partai Buruh Bangladesh, Rashed Khan Menon, menyebut bahwa berbagai kasus itu mengindikasikan "setidaknya sebagian akibat maraknya korupsi di dalam Kementerian Kesehatan Bangladesh," yang ia klaim "lebih berbahaya dari penyebaran virus corona."

Selanjutnya...

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya