Seberapa Banyak Antibodi yang Harus Dimiliki untuk Lawan COVID-19?

Antibodi seperti apa yang mesti dimiliki tubuh melawan COVID-19? Seberapa banyak yang dibutuhkan?

diperbarui 02 Des 2021, 10:18 WIB
Diterbitkan 02 Des 2021, 09:30 WIB
Rapid Test Antibodi
Ilustrasi Rapid Test Antibodi | pexels.com/@edward-jenner

, Jakarta - Setelah terinfeksi virus corona atau setelah divaksinasi, kita membentuk antibodi terhadap protein lonjakan yang ada di virus SARS-CoV-2.

Virus menggunakan protein ini untuk mendarat dan menembus sel luar kita. Lewat protein lonjakan, antibodi yang terbentuk di tubuh dapat mengenali virus itu, mengikatnya dan membuatnya terlihat oleh sel-sel kekebalan tubuh.

Menurut lembaga pengendalian penyakit menular di Jerman Robert Koch Institute (RKI) per 2 November 2021, perlindungan vaksin mRNA seperti dari BioNTech-Pfizer dapat mencapai sekitar 90%. Namun, ini tidak berlaku untuk varian Delta, varian ini jauh lebih menular dan sekarang menyebar di banyak wilayah di seluruh dunia.

Efektivitas vaksin dalam melindungi manusia dari infeksi varian Delta pun berkurang. Ahli imunologi Carsten Watzl dari Institut Leibniz di TU Dortmund University memperkirakan efektivitas vaksin BioNTech-Pfizer turun dari 90% pada varian aslinya menjadi 88% pada varian Delta.

Sementara vaksin vektor AstraZeneca dari 66% ke 60%. Data dari Israel bahkan menyebutkan bahwa perlindungan terhadap infeksi varian berbahaya saat divaksinasi dengan BioNTech-Pfizer bahkan hanya sekitar 64%, demikian dikutip dari DW Indonesia, Kamis (2/12/2021).

Menurut informasi dari Masyarakat Jerman untuk Imunologi (DGfI), jelas bahwa antibodi ini kembali menurun dalam jangka waktu enam sampai sembilan bulan setelah vaksinasi. Maka pertahanan kekebalan tubuh tidak lagi optimal. Terkait varian Delta, ada juga masalah bahwa tidak semua antibodi selalu dapat mengenali varian ini dengan baik.

Varian Delta adalah tantangan besar lainnya bagi para ilmuwan. Dalam skenario terbaik, setelah dua kali vaksinasi mayoritas kita pada awalnya kebal terhadap varian virus yang diketahui. Namun Carsten Watzl mengatakan bahwa ini tidak berlaku untuk setiap orang yang telah menerima vaksin.

"Vaksinasi saja bukanlah jaminan Anda akan kebal. Yang penting adalah bahwa tubuh kita telah membangun perlindungan kekebalan yang memadai. Tapi kita tidak bisa mengukurnya saat ini."

Berbeda dengan misalnya vaksinasi tetanus yang dapat melawan bakteri Clostridium tetani. Jika tidak yakin apakah kita masih punya perlindungan yang cukup, kita bisa mengujinya. Ini bisa dilihat dari hasil tes darah di laboratorium. Jika jumlah antibodi di atas batas tertentu, orang tersebut kebal terhadap patogen tetanus. Jika titer terlalu rendah, dokter harus memberikan vaksinasi tambahan atau booster.

"Kita belum berada di level ini untuk vaksin Corona COVID-19. Kita belum tahu persis apa yang harus kita ukur untuk dapat benar-benar menentukan apakah seseorang kebal atau tidak. Antibodi penetral mungkin memainkan peran menentukan dalam hal ini. Antibodi ini dapat mengikat virus sehingga tidak bisa terus menginfeksi sel. Tapi berapa jumlah antibodi ini yang harus dikandung dalam tubuh, masih belum jelas," jelas Watzl.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Belum Ada Pedoman yang Jelas

Ilustrasi Covid-19, virus corona
Ilustrasi Covid-19, virus corona. Kredit: Miroslava Chrienova via Pixabay

Pada masa depan, tes yang ada saat ini dapat memberikan informasi tentang seberapa kuat perlindungan kekebalan tubuh bahkan berbulan-bulan setelah vaksinasi kedua.

Apakah perlindungannya cukup atau perlu dosis vaksinasi ketiga. Para ahli masih memperingatkan bahwa tes antibodi tidak menawarkan kepastian mutlak. Tes ini hanya bisa mengatakan apakah antibodi telah terbentuk. Jumlahnya pun sangat bervariasi antara tiap-tiap individu.

Bukan hanya antibodi yang penting dalam memerangi infeksi virus. Ketika virus telah menembus sel, antibodi tidak bisa lagi mengejarnya karena antibodi tidak dapat masuk ke dalam sel. Jadi virus itu bisa berkembang biak.

"Sistem kekebalan tubuh kita punya yang disebut sel T untuk memerangi ini. Sel-sel ini mampu membunuh sel yang terinfeksi oleh virus. Itu berarti: Kita lebih suka mengorbankan beberapa sel dalam tubuh kita, yaitu yang terinfeksi," kata Watzl sambil menjelaskan prosedurnya.

Anda dapat mengukur antibodi maupun sel T. Namun, dalam praktiknya, sangat sulit untuk menentukan jumlah sel T karena tes ini relatif kompleks.

"Hanya memakai ukuran antibodi belum tentu bisa mengatakan seberapa baik Anda benar-benar terlindungi dari virus. Mungkin saja saya hampir tidak memiliki antibodi, dengan kata lain: saya masih bisa terinfeksi virus. Tetapi respons sel T saya sangat kuat hingga saya tidak sakit parah," ia menerangkan.

 

Pertanyaan Tentang Jumlah Antibodi

Korea Selatan laporkan lebih dari 5.000 kasus tambahan COVID
Pekerja medis di sebuah bilik, mengambil sampel dari seorang wanita di klinik skrining sementara untuk virus corona di Seoul, Rabu (1/12/2021). Jumlah kasus baru COVID-19 harian di Korea Selatan tercatat di angka 5.000-an untuk pertama kalinya sejak awal pandemi. (AP Photo/Lee Jin-man)

Ada metode pengukuran yang berbeda untuk tes antibodi corona. Biasanya pemeriksaan laboratorium memiliki standar yang jelas mulai dari jumlah nilai minimal sampai nilai maksimal.

Dengan cara ini, dokter dapat melihat apakah nilainya dalam kisaran normal. Tapi ini belum ditentukan untuk mengukur antibodi melawan virus SARS-CoV-2.

Yang juga masih belum jelas adalah seberapa cepat tingkat antibodi turun. Sejauh ini, yang kita ketahui adalah jumlahnya turun seiring waktu.

"Jika Anda melihat nilai (antibodi) tidak lama setelah vaksinasi, dapat dilihat bahwa tingkat antibodi Anda tertinggi. Dalam beberapa bulan pertama setelah vaksinasi, tingkat ini turun relatif cepat. Namun di titik tertentu angka itu akan mendatar dan dari sana jumlahnya akan bergerak dengan sangat lambat. Kita tahu itu dari vaksin-vaksin lainnya, dan ini sepertinya juga terjadi dengan vaksinasi corona," kata Watzl.

Namun, ini belum terbukti secara ilmiah dan sangat bersifat individual.

Ada orang yang telah divaksinasi dua kali dan hanya mengembangkan sedikit antibodi terhadap virus corona, atau bahkan tidak berkembang sama sekali. Banyak faktor yang dapat menyebabkan tingkat antibodi yang rendah. Usia adalah salah satunya, atau sistem kekebalan yang tertekan dan tidak berfungsi seperti pada orang sehat.

Rentang antibodi yang dihasilkan juga masih besar dan sepertinya belum terkendali. Rentang ini berkisar dari "banyak antibodi dan terlindungi dengan baik" dan "terlalu sedikit antibodi dan kurang terlindungi" hingga ke "sedikit antibodi namun terlindungi".

Karena itu, para ilmuwan di seluruh dunia masih mencari apa yang disebut korelasi imun. Nilai inilah yang menunjukkan layak atau tidaknya pemberian vaksinasi tambahan. Sebelum hal ini dapat dibuktikan secara andal dan berdasarkan angka konkret, perlu dilakukan serangkaian studi skala besar, termasuk studi tentang perilaku virus varian Delta.

Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan COVID-19

Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 4 Tips Penderita Diabetes Hindari Penularan Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya