, Jenewa - Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet mengatakan dalam pertemuan Dewan HAM PBB pada hari Selasa (08/03) bahwa dia akan melakukan perjalanan ke China pada bulan Mei mendatang.
Ini merupakan perjalanan pertama tim HAM PBB ke China sejak terakhir kalinya pada tahun 2005 silam. Bachelet akan bertemu dengan para pejabat negara itu serta akan melawat ke provinsi Xinjiang.
Baca Juga
"Saya senang mengumumkan bahwa kami baru-baru ini mencapai kesepakatan dengan pemerintah China untuk melakukan kunjungan," kata Bachelet di Jenewa seperti dikutip dari DW Indonesia, Kamis (9/3/2022).
Advertisement
Negosiasi untuk kunjungan semacam itu telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Bachelet mengumumkan bahwa tim pendahulu akan melakukan perjalanan ke China pada bulan April untuk mempersiapkan kunjungannya. Juru bicaranya mengatakan otoritas China telah berjanji untuk memastikan Bachelet memiliki "akses tak terbatas ke berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil" selama kunjungannya ke Xinjiang.
Bachelet mengatakan Badan HAM PBB, OHCHR, dan Beijing telah "memulai persiapan konkret untuk kunjungan yang diperkirakan berlangsung pada Mei."
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Isu HAM
Bachelet mengatakan dia prihatin dengan perlakuan terhadap individu yang secara terbuka mengangkat masalah hak asasi manusia atau mengkritik pihak berwenang. Tercatat bahwa beberapa individu tersebut telah dipenjara atau ditempatkan di bawah tahanan rumah setelah berbicara. Bachelet pun meminta Beijing untuk menghormati dan melindungi kebebasan berekspresi.
Duta Besar China untuk PBB, Chen Xu, mengatakan kepada forum Dewan HAM PBB bahwa kebebasan berekspresi dilindungi sepenuhnya di negaranya. Namun, ia menambahkan bahwa "kebebasan berekspresi tidak akan pernah bisa menjadi dalih untuk (menempatkan) siapa pun di atas hukum."
Selama bertahun-tahun, kelompok hak asasi manusia telah membunyikan alarm di Xinjiang, mengklaim bahwa lebih dari 1 juta Muslim Uighur dan minoritas lainnya telah dimasukkan ke dalam "kamp pendidikan ulang" dalam beberapa tahun terakhir.
Kelompok-kelompok tersebut menuduh bahwa orang-orang di kamp telah mengalami penyiksaan, sterilisasi, kerja paksa, dan indoktrinasi.
Etnis Uighur di wilayah tersebut telah mengeluhkan penindasan budaya dan agama. Beijing menuduh mereka melakukan aksi separatisme dan terorisme. Pemerintah Barat bahkan menyebut upaya China tersebut dengan "genosida".
Beijing dengan keras membantah klaim tersebut, dengan pihak berwenang di sana mengatakan bahwa "pusat pelatihan kejuruan" membantu menghambat terorisme.
Advertisement