Liputan6.com, Paris - Marine Le Pen, calon presiden sayap kanan di Prancis, berjanji akan melarang Muslim yang mengenakan jilbab di depan umum jika ia terpilih. Janji itu ia sampaikan dalam kampanye terakhirnya.
Le Pen menguraikan bagaimana komitmennya untuk "melarang penggunaan jilbab di semua tempat umum."
Dikutip dari laman Wionews, Senin (11/4/2022), Le Pen juga menyatakan bahwa itu akan ditegakkan oleh polisi dengan cara yang sama seperti sabuk pengaman dikenakan saat sedang berkendara dengan mobil.
Advertisement
Baca Juga
"Orang-orang akan didenda dengan cara yang sama seperti tidak mengenakan sabuk pengaman. Bagi saya, polisi tampaknya sangat mampu menegakkan tindakan ini," katanya.
Le Pen mengatakan, dia akan menggunakan referendum untuk mencoba menghindari tantangan konstitusional terhadap banyak undang-undang yang diusulkannya atas dasar bahwa mereka diskriminatif dan melanggar kebebasan pribadi.
Undang-undang sebelumnya di Prancis yang melarang simbol agama di sekolah atau penutup wajah penuh di tempat umum diizinkan atas dasar bahwa itu berlaku untuk semua warga negara dan dalam pengaturan tertentu.
Le Pen (53) telah melunakkan retorika anti-imigrasinya selama kampanye tahun ini dan sebagai gantinya berfokus pada kampanye pengeluaran biaya rumah tangga. Ia menempatkannya lebih dekat dari sebelumnya ke kekuasaan, jajak pendapat menunjukkan perubahan pandangan Le Pen.
Survei terbaru menunjukkan bahwa Le Pen berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Macron yang berhaluan tengah dalam putaran pertama pemungutan suara pada Minggu 10 April.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pemilihan Putaran Kedua pada 24 April
Pemilihan putaran kedua ditetapkan pada 24 April, dengan survei menunjukkan Macron berada dengan keunggulan kecil 54 persen menjadi 46 persen atas Le Pen.
Krisis di Ukraina, serta tekanan pada sistem kesehatan setelah dua tahun Covid-19, termasuk di antara kekhawatiran pemilih utama.
Prancis adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, sebuah kelompok yang telah mengalami peningkatan prasangka dalam beberapa tahun terakhir.
Macron menuduh Le Pen mendorong manifesto ekstremis dari kebijakan rasis dan merusak segala aturan.
"Duel yang akan kami lakukan dalam 15 hari ke depan akan menentukan bagi Prancis dan Eropa," kata Macron kepada para pendukungnya.
Emmanuel Macron juga mendesak semua pemilih untuk bersatu di belakangnya guna menghentikan sayap kanan berkuasa di negara terbesar kedua di Uni Eropa itu.
Sementara itu, Le Pen mengatakan bahwa dia akan 'membawa ketertiban kembali ke Prancis' selama rapat umum pemilihan baru-baru ini.
"Apa yang akan dipertaruhkan pada 24 April adalah pilihan masyarakat, pilihan peradaban," katanya kepada para pendukungnya.
Advertisement
Macron Memimpin Hasil Putaran Pertama
Macron memenangkan pilpres terakhir pada 2017 dengan telak untuk menjadi presiden termuda Prancis.
Hasil putaran pertama pada Minggu kemarin menempatkan Macron di tempat pertama di depan Le Pen setelah pemungutan suara putaran pertama, sementara kandidat utama lainnya kalah.
Dengan 96 persen suara dihitung untuk putaran pertama hari Minggu kemarin, Macron mengumpulkan 27,41 persen suara dan Le Pen 24 persen menurut kantor berita Reuters.
Macron tampaknya berada di jalur untuk pemilihan ulang yang terbilang nyaman.
Posisinya naik tinggi dalam jajak pendapat berkat pertumbuhan ekonomi yang kuat, oposisi yang terfragmentasi dan peran negarawannya dalam mencoba mencegah perang di Ukraina di sisi timur Eropa.
Hasil pemilihan akan memiliki pengaruh internasional yang luas karena Eropa berjuang untuk menahan kekacauan yang ditimbulkan oleh invasi Presiden Rusia Vladimir Putin ke Ukraina.
Macron sangat mendukung sanksi Uni Eropa terhadap Rusia. “Sebagai orang Eropa, kami menerapkan sanksi baru. Dan kami akan terus memberikan dukungan kemanusiaan, militer, dan keuangan ke Ukraina,” kata Macron.
Beda Sikap Le Pen 5 Tahun Lalu
Pada pemilihan presiden 2017, Le Pen menjadi rival terakhir bagi Emmanuel Macron kala itu yang pada akhirnya berhasil menduduki kursi orang nomor satu di Negeri Menara Eiffel.
Dulu, ia dikenal sebagai politisi yang dianggap punya program tak memihak pada rakyat. Kalah telak dari Macron, sosok muda yang jadi harapan baru dengan pesan penuh optimisme.
Kini, Le Pen telah bekerja keras untuk mengurangi citranya dalam beberapa tahun terakhir, menampilkan dirinya sebagai orang sederhana, moderat dan cocok untuk jabatan tertinggi.
Selama bertahun-tahun dia telah mempertahankan pesan anti-imigrasi, anti-UE yang telah beresonansi dengan pemilih yang tidak puas.
Tetapi pada minggu-minggu terakhir kampanye dia semakin fokus pada tingginya biaya hidup, demikian dikutip dari laman AFP, Senin (11/4/2022).
Macron sekarang mengusulkan pekerjaan penuh dalam waktu lima tahun, memotong pajak untuk rumah tangga dan bisnis, dan membayar programnya dengan secara bertahap menaikkan usia pensiun dari 62 menjadi 65 - meskipun meningkatkan usia pensiun tidak populer dengan pemilih sudah menghadapi krisis pengeluaran.
Analis memperkirakan bahwa jumlah pemilih akan sangat rendah sehingga tingkat abstain rekor 22,2% yang ditetapkan pada 2017 akan terlampaui.
Advertisement