Dubes Ukraina Tak Yakin G20 Bisa Damaikan Invasi Rusia

Sikap Rusia dinilai menyulitkan perdamaian bersama Ukraina di G20.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 24 Agu 2022, 17:57 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2022, 17:40 WIB
Dubes Ukraina di RI Vasyl Hamianin di markas FPCI.
Dubes Ukraina di RI Vasyl Hamianin di markas FPCI. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Liputan6.com, Jakarta - Dubes Ukraina untuk RI Vasyl Hamianin meragukan event G20 di Bali bisa mendamaikan invasi Rusia. Pasalnya, tuntutan Rusia sepihak dan meminta Ukraina melepaskan wilayahnya.

Ukraina telah menegaskan tidak akan memberikan wilayahnya demi kedamaian. Upaya mediasi perdamaian masih diharapakan Ukraina, tetapi Dubes Vasyl ragu itu bisa terjadi di G20.

"Saya tidak berpikir itu akan terjadi. Saya tidak berpikir hal itu memungkinkan, bukan karena Ukraina, tetapi karena Rusia tidak mampu negosiasi perdamaian," ujar Dubes Ukraina untuk RI Vasyl Hamianin saat memperingati kemerdekaan negaranya di markas Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Jakarta, Rabu (24/8/2022).

Dubes Hamianin lantas mengingatkan sudah banyak upaya perdamaian, mulai dari di perbatasan Ukraina-Belarusia, idialog di Turki, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Moskow, upaya dari PBB, dan sejumlah pemimpin dunia lainnya yang telah menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin.

"Kami tidak ingin memperdagangkan negara kita," ujar Dubes Ukraina. "Jika kita bernegosiasi dengan Rusia, poin pertama adalah semua wilayah harus dibebaskan dan tak ada prajurit Rusia yang menetap."

Rencana Kedatangan Zelensky 

Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berkata tidak bisa datang ke G20 apabila negaranya masih perang. Dubes Hamianin berkata keputusan Presiden Zelensky datang ke G20 akan ditentukan pada September 2022. 

Selain itu, Dubes Hamianin juga mengaku ragu-ragu bahwa Presiden Vladimir Putin akan benar-benar datang ke G20.

"Saya ragu Putin akan datang," ujar Dubes Vasyl Hamianin.

AS dan Rusia Saling Kecam di Sidang PBB soal Perdamaian dan Keamanan Dunia

Pertemuan Virtual Joe Biden dan Xi Jinping
Presiden Joe Biden mendengarkan saat ia bertemu secara virtual dengan Presiden China Xi Jinping dari Ruang Roosevelt Gedung Putih di Washington, Senin (15/22/2021). Pertemuan dimaksudkan untuk menurunkan ketegangan antara AS dan China selaku dua negara adidaya dunia saat ini. (AP Photo/Susan Walsh)

Sementara itu, Sidang Dewan Keamanan PBB tentang perdamaian dan keamanan internasional pada Senin, 22 Agustus 2022 diwarnai aksi saling kecam Amerika Serikat dan Rusia.

Mengutip VOA Indonesia, Rabu (24/8/), Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield dalam pertemuan itu mengatakan invasi Rusia ke Ukraina telah "memperburuk kerawanan pangan global" dan "mendorong krisis pengungsi baru." 

"Ambisi egois Rusia untuk menginvasi negara tetangganya dan menguasai tanah mereka telah menimbulkan dampak pada kita semua. Hal ini telah memicu kelangkaan pangan global. Hal ini juga mendorong krisis pengungsi baru. Hal ini telah menimbulkan kematian puluhan ribu warga Ukraina dan Rusia, dan telah merongrong prinsip-prinsip dasar yang mencegah terjadinya perang dunia baru," ujar Thomas-Greenfield.

"Kesalahan terbesar di abad ke-21 ini dilakukan oleh zaman emporium, ketika negara dan rakyatnya tidak lagi bebas membuat keputusan sendiri secara berdaulat, baik tentang masyarakat mereka sendiri, ekonomi, kemitraan dan aliansi. Kita tidak bisa mengulangi kesalahan-kesalahan itu."

Sementara itu, Duta Besar Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya memperingatkan bahwa "tatanan dunia baru" sedang terbentuk, dan akan menolak "contoh standar" yang ada di negara-negara Barat.

"Kami berharap tindakan Barat di negara ini (Ukraina) akan membuka mata banyak orang di dunia tentang hal-hal utama yang menyebabkan krisis yang mencengkeram planet kita. Apa yang terjadi di Ukraina sekarang dan perilaku NATO di benua Barat selama 30 tahun terakhir adalah pelajaran bagi seluruh dunia," balas Nebenzya.

"Apakah menurut Anda Amerika dan sekutu-sekutunya akan berperilaku berbeda di belahan dunia lain? Sejarah telah menunjukkan bahwa hal itu tidak demikian. Karena itu jangan bertanya-tanya tentang penderitaan atau kematian orang lain karena saat ini hal tersebut akan terjadi pada Anda,” imbuh Nebenzya.

Dimulai Laporan Sekjen PBB Soal Kunjungan ke Ukraina

Asap mengepul dari pabrik baja Azovstal di Mariupol, di wilayah di bawah pemerintahan Republik Rakyat Donetsk, Ukraina timur, saat perang antara Rusia Ukraina. (AP Photo/Alexei Alexandrov, File)
Asap mengepul dari pabrik baja Azovstal di Mariupol, di wilayah di bawah pemerintahan Republik Rakyat Donetsk, Ukraina timur, saat perang antara Rusia Ukraina. (AP Photo/Alexei Alexandrov, File)

Sebelum saling kecam itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyampaikan laporan atas lawatannya baru-baru ini ke Ukraina, yang menurutnya telah memberinya sejumlah harapan.

"Ada perjanjian untuk memfasilitasi akses tanpa hambatan ke pasar global untuk makanan dan pupuk yang berasal dari Rusia,” ujar Guterres.

Ia menambahkan "rencana komprehensif ini sangat penting bagi warga dan negara yang paling rentan, yang sangat bergantung pada pasokan pangan ini. Di atas segalanya, ini adalah contoh nyata bagaimana dialog dan kerjasama dapat memberikan harapan – bahkan di tengah konflik."

Guterres mengatakan akan memberikan rincian lawatannya ke Ukraina pada Rabu 24 Agustus 2022 mendatang. 

Rusia Mau Tindak Telegram, Zoom, hingga TikTok karena Tak Hapus Konten Ilegal

FOTO: Rusia - Ukraina Memanas, Emmanuel Macron Temui Vladimir Putin di Moskow (SPUTNIK/AFP)
Presiden Rusia Vladimir Putin saat bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Moskow, Rusia, 7 Februari 2022. Vladimir Putin dan Emmanuel Macron berupaya menemukan titik temu atas Ukraina dan NATO di tengah kekhawatiran Rusia sedang mempersiapkan invasi ke Ukraina. (SPUTNIK/AFP)

Sementara, pengawas telekomunikasi Rusia, Roskomnadzor menyatakan bakal menindak tegas sejumlah platform teknologi yaitu TikTok, Telegram, Zoom, Discord, dan Pinterest.

Menurut Rozkomnadzor, langkah ini dilakukan karena platform-platform itu gagal menghapus informasi yang dianggap ilegal oleh hukum di negara itu.

Mengutip TASS, Selasa (23/8), perusahaan-perusahaan tersebut dianggap tidak mematuhi prosedur penghapusan informasi terlarang.

Regulator juga mengatakan, mereka gagal memenuhi tanggung jawab utama yang ditetapkan dalam undang-undang federal, mengenai operasi pihak asing di internet di wilayah Rusia.

"Langkah-langkah yang diadopsi dari sifat komunikasi akan berlaku sampai perusahaan asing benar-benar menutup pelanggaran hukum Rusia," tambah regulator.

Mengutip RFE/RL, dalam beberapa bulan terakhir, pengadilan Rusia sudah menjatuhkan denda ke beberapa platform digital seperti Google, Facebook, Twitter, Twitch, WhatsApp, Telegram, dan TikTok karena masalah data pribadi.

Platform-platform ini juga dianggap menolak untuk menghapus konten-konten yang dilarang oleh aturan Rusia.

Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengatakan, platform media sosial dan perusahaan teknologi asing telah melanggar undang-undang internet di negara itu.

Putin juga telah mendorong cara-cara untuk memaksa perusahaan asing membuka kantor di Rusia dan menyimpan datanya secara lokal.

Dikutip dari Alarabiya, Rusia juga telah berkali-kali mengancam bakal mendenda situs-situs, termasuk Google, yang melanggar undang-undang tentang penyebaran "informasi palsu" mengenai tentara Rusia.

Pengadilan Rusia juga dikabarkan mendenda Twitch hingga 2 juta rubel dan Telegram sebesar 11 juta rubel, karena melanggar undang-undang sensor militer.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia?
INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya