Liputan6.com, Moskow - Pemerintah Rusia bersiap secara resmi mengklaim wilayah-wilayah Ukraina. Proses pengangkatan (accession) itu rencananya dilakukan Rusia pada 30 September 2022.
Wilayah yang akan diklaim adalah Donetsk, Luhansk (Lugansk), Kherson dan Zaporozhye yang sudah menggelar referendum. Para pemimpin internasional menyebut referendum tersebut bersifat tipu-tipu.
Advertisement
Baca Juga
Rusia tetap akan mengklaim wilayah-wilayah tersebut berdasarkan hasil referendum yang telah dilakukan pada Jumat (23/9).
"Menimbang hasil awal referendum-referendum dan kesiapan Rusia untuk mengakui mereka, pengangkatan wilayah-wilayah tersebut kemungkinan besar terjadi paling awal 30 September," ujar seorang anggota parlemen Rusia kepada media pemerintah Rusia, TASS, Minggu (25/9/2022).
Ada kemungkinan Presiden Rusia Vladimir Putin akan ikut serta, meski belum ada kepastian.
Deputi kepala faksi Partai Demokrat Liberal Rusia, Yaroslav Nilov, berkata bahwa anggota Duma (parlemen Rusia) belum diberitahu mengenai rencana-rencana tersebut. Namun, ia mengakui ada acara penting pada 30 September 2022. Anggota parlemen lantas diminta melakukan tes COVID-19.
"Para senator telah dibertahu untuk lolos tes PCR sebanyak tiga kali agar bisa ikut serta pada acara penting di 30 September," ujar Yaroslav Nilov.
Referendum di Donetsk, Luhansk (Lugansk), Kherson dan Zaporozhye terjadi di tengah invasi Rusia. Pemimpin dunia seperti Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Kanselir Jerman Olaf Scholz telah mengecam referendum tersebut.
Presiden Prancis Emmanuel Macron juga berkata referendum tersebut tidak akan memberikan dampak hukum apa-apa.Â
Ini bukan pertama kalinya Rusia merebut wilayah Ukraina melalui "referendum". Pada 2014, Rusia juga melakukan hal yang sama pada Krimea, namun tidak diakui komunitas internasional.
Perang Rusia-Ukraina, Presiden Macron: Besok Putin Mungkin Serang Asia
Presiden Prancis Emmanuel Macron berapi-api saat pidato di Sidang Majelis Umum PBB 2022 di New York. Ia pun dan mengingatkan dunia agar tidak cuek terkait Perang Rusia-Ukraina.Â
Pasalnya, Presiden Macron khawatir Rusia akan menyerang daerah lain juga setelah negara tetangganya sendiri. Â
"Hari ini di Eropa, tetapi mungkin besok di Asia, di Afrika, atau Amerika Latin," ujar Presiden Prancis Emmanuel Macron di Markas PBB, disiarkan situs resmi UN, Kamis (22/9).
Presiden Macron juga berkata bahwa Mahkamah Internasional telah menetapkan invasi Rusia sebagai hal yang ilegal, serta agar Rusia mundur dari Ukraina.
Lebih lanjut, Presiden Macron bahkan menyebut Rusia membangkitkan lagi imperialisme ketika menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.
"Apa yang kita lihat pada 24 Februari adalah kembali ke imperialisme dan kolonialisme. Prancis menolak hal tersebut dan terus mengupayakan perdamaian" ujar Presiden Prancis.Â
Delegasi Rusia tampak tidak berekspresi ketika mendengar pidato Presiden Emmanuel Macron.Â
Presiden Macron turut menyorot langkah "referendum" Rusia di wilayah-wilayah Ukraina yang dibombardir dan diduduki.
Sejauh ini, perdamaian Rusia-Ukraina masih belum kunjung tercapai. Ukraina meminta agar Rusia melepas wilayah-wilayah yang diduduki. Presiden Macron lantas berkata siap terus membantu Ukraina secara kemanusiaan dan militer.
Advertisement
Tentara Rusia Datangi Rumah Warga Ukraina untuk Referendum
Warga Ukraina telah melaporkan tentara bersenjata datang dari rumah ke rumah yang menduduki bagian negara tersebut untuk mengumpulkan suara dalam "referendum" gadungan agar bergabung dengan Rusia.
"Anda harus menjawab secara lisan dan tentara menandai jawabannya di kertas dan menyimpannya," kata seorang wanita di Enerhodar kepada BBC.Â
Mengutip BBC, Sabtu (24/9), di Kherson Selatan, para penjaga Rusia berdiri dengan kotak suara di tengah kota untuk mengumpulkan suara rakyat.
Pemungutan suara dari rumah ke rumah adalah untuk "keamanan", kata media pemerintah Rusia.
"Pemungutan suara secara langsung akan berlangsung secara eksklusif pada 27 September," Tass melaporkan.
"Pada hari-hari lainnya, pemungutan suara akan diselenggarakan di komunitas dan dengan cara dari rumah ke rumah." tambah laporan tersebut.
Seorang perempuan di Melitopol mengatakan kepada BBC bahwa dua "kolaborator" lokal tiba dengan dua tentara Rusia di kediaman orangtuanya, untuk memberi mereka surat suara yang harus ditandatangani.
"Ayah saya menaruh 'tidak' (untuk bergabung dengan Rusia)," ungkap wanita itu.
"Ibu saya berdiri di dekatnya, dan bertanya apa yang akan terjadi jika saya memilih 'tidak'. Mereka berkata, 'Tidak ada'. Ibu sekarang khawatir Rusia akan menganiaya mereka." lanjutnya.
Wanita itu juga mengatakan ada satu surat suara untuk seluruh rumah tangga, bukan per orang.
Meskipun bukti-bukti tersebut bersifat anekdot, kehadiran orang-orang bersenjata yang melakukan pemungutan suara bertentangan dengan desakan Moskow bahwa ini adalah proses yang bebas atau adil.
Menlu Rusia Walk Out dari Sidang Umum PBB, Diserang Soal Perang di Ukraina
Menteri luar negeri Rusia tidak hadir di sidang umum PBB, karena negaranya menghadapi teguran keras dari Amerika Serikat dan negara lain atas perangnya di Ukraina. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken memperingatkan sesama diplomat, "ketertiban internasional yang telah kita kumpulkan di sini untuk ditegakkan sedang dicabik-cabik di depan mata kita."
"Kami tidak bisa - kami tidak akan - membiarkan Presiden Vladimir Putin lolos begitu saja," kata Blinken dalam sambutannya pada pertemuan Dewan Keamanan PBB, Kamis (23/9) seperti dikutip dari CNN.
Pertemuan tingkat tinggi Majelis Umum PBB tersebut diadakan selama sepekan.
Pertemuan itu terjadi di tengah aksi eskalasi selama seminggu oleh Moskow, termasuk perintah mobilisasi ratusan ribu tentara dan rencana "referendum palsu" di bagian Ukraina yang diduduki Rusia. "Yang dipilih Presiden Putin minggu ini, karena sebagian besar dunia berkumpul di PBB, untuk menambahkan bahan bakar ke api yang dia mulai menunjukkan penghinaan terhadap Piagam PBB, Majelis Umum PBB, dan Dewan ini," kata Blinken.
Menlu Rusia Sergey Lavrov tidak hadir di ruangan itu namun mengeluarkan pernyataannya sendiri, di mana ia menolak kecaman internasional yang meluas dan sekali lagi menyalahkan Kiev atas invasi Moskow. Beberapa pejabat menyarankan diplomat tinggi Rusia meninggalkan ruangan karena dia tidak ingin mendengar kecaman.
Seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada wartawan pada Kamis kemarin bahwa "Rusia benar-benar merasakan napas panas opini dunia" pada pertemuan itu.
"Saya tidak berpikir bahwa ada orang di ruangan itu di seberang Dewan Keamanan dari (Menteri Luar Negeri China) Wang Yi hingga Tony Blinken yang memberi Vladimir Putin atau Lavrov sedikit kenyamanan. Semua orang mengatakan perang ini harus diakhiri," pejabat itu mengatakan.
Advertisement