Liputan6.com, New York - Presiden Prancis Emmanuel Macron menggebrak podium ketika pidato di Sidang Umum PBB 2022 di New York. Gebrakan itu terjadi ketika menyorot negara-negara netral di perang Rusia-Ukraina.Â
Kepada negara-negara yang non-blok, Presiden Macron menegaskan bahwa mereka sedang mendukung imperialisme masa kini.Â
Baca Juga
"Siapapun yang mengikuti perjuangan non-blok melakukan kesalahan serius. Mereka yang hening hari ini ... adalah penyebab imperialisme baru," ujar Presiden Emmanuel Macron dalam pidatonya pada Selasa 20 September 2022.
Advertisement
Presiden Macron memang menyebut pihak yang non-blok ("non-alignés"), tetapi ia tidak secara langsung menyindir negara Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement).
Indonesia merupakan anggota GNB. Sejauh ini, Indonesia meminta perdamaian, namun tidak secara terbuka mengecam Rusia.
Pidato Presiden Macron itu disiarkan situs resmi UN. Macron yang terdengar bersemangat beberapa kali menggebrak meja dan menunjuk-nunjuk audiens ketika membahas isu invasi ini.
Presiden Macron sempat bertanya ke audiens siapa yang protes sanksi terhadap Rusia. Ia pun meminta pihak-pihak tersebut berpikir jika invasi yang sama terjadi pada mereka, tetapi kawasan dan dunia memilih diam.
Presiden Macron berkata tindakan Rusia merusak tatanan internasional dan membuat perdamaian sulit tercapai. Ia berkata perang Rusia melemahkan prinsip PBB, sehingga semua negara perlu ikut berperan untuk perdamaian.
Selain itu, ia menegaskan bahwa imperialisme yang terjadi ditolak di Eropa.
"Imperialisme kontemporer ini bukanlah hal Eropa, bukan hal Barat," ujar Presiden Emmanuel Macron.
Putin Akan Berlakukan Wajib Militer pada Warga Rusia Untuk Lawan Ukraina
Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial di Rusia, yang secara tidak langsung akan mengharuskan warga untuk bergabung dalam upaya perang di Ukraina.
Dia juga memperingatkan negara-negara Barat untuk tidak menyerang wilayah Rusia. Kalau berani maka akan dibalas dengan cepat.Â
Pidato Putin pada Rabu kemarin datang ketika invasi Rusia mencapai hampir tujuh bulan dan di tengah serangan balasan yang berhasil oleh militer Ukraina, demikian dikutip dari laman Fox News, Kamis (22/9/2022)
Wajib militer "sepenuhnya memadai untuk ancaman yang kita hadapi, yaitu melindungi tanah air kita, kedaulatan dan integritas teritorialnya, untuk memastikan keamanan rakyat kita dan orang-orang di wilayah yang telah dibebaskan," katanya.
"Kita berbicara tentang mobilisasi parsial, yaitu hanya warga negara yang saat ini berada di daftar cadangan yang akan dikenakan wajib militer, dan di atas semua itu, mereka yang bertugas di angkatan bersenjata memiliki spesialisasi militer tertentu dan pengalaman yang relevan," kata Putin.
Pernyataan itu juga muncul satu hari setelah Rusia mengumumkan akan mengadakan pemilihan di wilayah yang dikuasai Rusia di Ukraina timur dan selatan.
Ini akan memungkinkan wilayah-wilayah ini untuk bergabung dengan Rusia. Pemilihan seperti itu tidak diragukan lagi akan meningkatkan perang.
Advertisement
300 WN Rusia Ditangkap Akibat Protes Tak Mau Ikut Perang ke Ukraina
Para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di Moskow ketika kemarahan meletus atas deklarasi Vladimir Putin tentang rencana mobilisasi parsial di Rusia.
Massa turun ke jalan di ibu kota Rusia setelah Kremlin mengumumkan 300.000 orang warga sipil untuk melanjutkan invasi ke Ukraina.Â
Demonstran meneriakkan "Tidak ada perang" sebagai bentuk perlawanan karena beberapa ditindih ke tanah atau diseret setelah ditahan oleh polisi bersenjata, demikian dikutip dari situs berita Sky News, Kamis (22/9/2022).
Setidaknya 300 orang di Moskow termasuk di antara lebih dari 1.371 yang ditahan di 38 kota secara nasional pada Rabu malam.
Sky News melaporkan para demonstran diperlakukan "secara brutal", menggambarkan kerumunan sebagai kelompok yang "sangat berani" karena secara terbuka mengekspresikan pandangan kepada polisi.
"Kami belum melihat protes di sejumlah kota selama lima atau enam bulan terakhir, orang-orang sangat takut dengan fakta bahwa mereka akan ditahan, dan itu jelas apa yang terjadi," kata Magnay, seorang reporter Sky News.
Warga Rusia menghadapi kemungkinan ditahan karena menghadiri demo anti-pemerintah selama bertahun-tahun -- tetapi mereka juga telah dibungkam oleh sensor militer sejak invasi dimulai pada 24 Februari.
Ribuan orang bergabung dengan protes anti-perang pada awal konflik -- terlepas dari konsekuensi potensial, termasuk kehilangan pekerjaan dan bahkan dipenjara.
"Banyak yang khawatir dengan eskalasi dan tidak mau terlibat langsung dengan perang," tambah Magnay.
Rusia Langgar Piagam PBB
Presiden AS Joe Biden tampil dalam pidato di depan Majelis Umum PBB pada Rabu 21 September 2022. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan keinginannya untuk menggalang dukungan bagi Ukraina.
Joe Biden mengatakan bahwa perang di Ukraina itu merupakan penghinaan terhadap inti perjuangan PBB.Â
"Laporan penganiayaan Rusia terhadap warga sipil di Ukraina sepatutnya membuat Anda merasa sangat takut," ucap Joe Biden dalam kecaman keras atas invasi Rusia ke Ukraina selama tujuh bulan terakhir, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (22/9/2022).
Ia juga mengatakan, ancaman nuklir baru yang disampaikan Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Eropa menunjukkan "ketidakpedulian yang gegabah" atas tanggung jawab Moskow sebagai penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir.
Joe Biden lantas mengkritik Rusia karena menjadwalkan "referendum palsu" pekan ini di wilayah Ukraina yang telah direbut secara paksa.
"Salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB menginvasi negara tetangganya sendiri dan berusaha menghapus negara berdaulat itu dari peta. Rusia telah tanpa malu-malu melanggar prinsip utama Piagam PBB," kata Biden di hadapan hadirin Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-77.
Biden lantas menyerukan seluruh negara, baik negara demokrasi maupun otokrasi, agar menentang invasi Rusia dan mendukung upaya Ukraina untuk mempertahankan diri.
"Kita akan berdiri bersama dalam solidaritas untuk menentang agresi Rusia, titik," ujarnya.
Pidato itu disampaikan ketika wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki Rusia di sisi timur dan selatan mengumumkan rencana untuk menggelar referendum, yang didukung Kremlin, dalam beberapa hari ke depan untuk menentukan apakah akan menjadi bagian dari Rusia, seiring kemunduran yang dialami Moskow dalam invasinya.
Advertisement