Liputan6.com, Jakarta - Indonesia patut berbangga, pasalnya salah satu anak bangsa, Pendiri Yayasan HAkA sekaligus aktivis lingkungan berprestasi Farwiza Farhan berhasil masuk dalam TIME100 Next 2022 kategori Leaders.
Masuknya Wiza dalam daftar tersebut tak lepas dari kecintaannya terhadap lingkungan. Melansir The Orang Utan Project, Kamis (29/9/2022), Wiza mengutarakan kegigihannya yang ingin bekerja di bidang konservasi.
“Saya memang ingin bekerja di bidang konservasi hanya saja dulu saya tidak tahu bagaimana caranya. Lalu, setelah lulus dari Biologi Kelautan Universitas Sains Malaysia, saya mencari pekerjaan di bidang konservasi."
Advertisement
"Sayangnya, pekerjaan di bidang konservasi untuk lulusan baru seperti saya sangat sulit. Untuk itu, saya melanjutkan studi dan mendapatkan gelar Master. Lalu kini bekerja di bidang konservasi pertama saya di sebuah Lembaga pemerintah yang mengelola dan melindungi Ekosistem Leuser di Sumatera.”
Wiza yang pernah menjalani pendidikan PhD di Departemen of Cultural Anthr Anthropology and Development Studies di Radboud University Nijmegen, The Netherlands pada 2014 itu bukan hanya bekerja di bidang konservasi, tetapi merupakan pendiri dari HAkA. Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA), merupakan salah satu LSM lokal di Aceh yang berjuang untuk melindungi ekosistem Leuser di Sumatera.
Selain melindungi dengan menjalankan berbagai program yang mendukung, Wiza juga melindungi Ekosistem Leuser dengan melawan pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar yang mengancam hanya ingin memanfaatkan Leuser untuk sumber keuntungan pribadi mereka. Seperti gugatan Wiza terkait dengan beberapa pembangunan di Leuser pada 2012 yang dimenangkannya.
Berpegang Pada Prinsip
Sebagai Ketua dan Co-Founder Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Wiza berupaya memperjuangkan Ekosistem Leuser yang lebih sehat.
Ekosistem Leuser yang menjadi fokus dari HAkA merupakan tempat terakhir dari beberapa spesies yang terancam punah seperti harimau, orangutan, gajah, dan badak. Di Leuser, spesies tersebut masih dapat ditemukan secara bersamaan.
“Ketika kami mendirikan organisasi pada 2012, kami berpegang pada inklusifitas terhadap masyarakat setempat. Kami berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat yang hidup di garis terdepan konservasi. Sejak saat itu, kami menegaskan bahwa kami akan tetap berpegang pada prinsip kami."
"Kami juga telah meluncurkan beberapa kampanye kami bersama para pemimpin grassroots environmental dan akan terus menguatkan suara kami dari bawah ke atas. Hal utama pekerjaan saya sendiri berkisar pada kontribusi terhadap arah strategis organisasi, serta dalam pengelolaan kampanye yang sedang dijalankan oleh organisasi,” kata Wiza.
Dengan memberdayakan masyarakat, mengambil tindakan hukum dan memobilisasi kampanye lokal, nasional dan global, Farwiza dan timnya membantu membuka jalan bagi pembangunan berkelanjutan yang sejati bagi masyarakat mereka.
Dampaknya pada konservasi yang digerakkan oleh masyarakat diakui dengan Future for Nature Award (FFN) 2017, Whitley Award 2016 dan Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021.
Advertisement
Menang Melawan Pemerintah
HKawasan Leuser, mengutip Future for Nature, merupakan Kawasan yang layak dilindungi. Sayangnya, Kawasan itu terus menerus berada di bawah ancaman perusahaan-perusahaan eksploitatif, pemerintah dan proyek-proyek pembangunan berskala besar, dengan Bendungan Tampur sebagai proyek terbaru mereka.
Pembangunan Bendungan tentu akan memberikan akses terbuka ke kawasan hutan primer dan dengan demikian akan terjadi penggundulan hutan dan perburuan liar untuk habitat yang ada di Leuser.
Melindungi spesies yang terancam punah cukup sulit, melindungi seluruh ekosistem melawan perusahaan swasta dan pemerintah yang berkepentingan untuk menghasilkan uang merupakan dua hal yang berbeda. Namun, Wiza bertugas untuk itu. Sebagai pemenang FFN 2017 dan ketua HAkA, Wiza mengemban tugas penting dalam ranah advokasi dan melawan segala bentuk ancaman atas Leuser.
HAkA, bekerja sama dengan WALHI Aceh, mengajukan gugatan terhadap Gubernur Aceh karena menyalahgunakan wewenangnya untuk mengeluarkan izin Bendungan Tampur. Setelah musyawarah panjang di ruang sidang, PTUN Banda Aceh mengeluarkan putusan yang menuntut Gubernur Aceh untuk mencabut izin tersebut.
Wiza juga tidak asing dengan kasus-kasus hukum terhadap pemegang konsesi perkebunan, seperti kasusnya pada tahun 2012 saat melawan perusahaan kelapa sawit yang membuka hutan secara ilegal, yang berakhir dengan denda sebesar 26 juta dolar AS atau sekitar 395,4 miliar rupiah dan diwajibkan untuk merestorasi Rawa Gambut Tripa di Ekosistem Leuser.
Menurut Wiza dan para konservasionis lainnya yang melestarikan Ekosistem Leuser, ini merupakan sinyal kuat bagi proyek-proyek pembangunan di masa depan untuk tidak mengabaikan implikasi lingkungan demi kepentingan rencana mereka sendiri.
"Banyak proyek yang disebut-sebut atas nama pembangunan, tetapi sering mengesampingkan prinsip-prinsip pelestarian fungsi lingkungan kawasan, yang harus dipertahankan,” kata Wiza
Wiza Suka Hari Senin
Wanita asal Aceh yang lahir pada Mei 1986 itu juga mengutarakan rasa cintanya terhadap pekerjaannya ini karena ia merasa telah tumbuh dan berkembang bersama semua koleganya di lingkungan kerjanya.
“Ini merupakan pekerjaan yang saya sukai sehingga setiap bagian dari pekerjaan ini saya suka. Saya senang bahwa saya kini menantikan Senin datang dan sering kali tidak menyadari bahwa ini sudah Jumat. Tetapi, lebih dari itu, yang paling saya sukai adalah saya bisa melihat bagaimana tim dan mitra organisasi tumbuh dan berkembang bersama dalam insiatif konservasi dan restorasi mereka. Saya juga merasa bahwa kami benar-benar membuat perbedaan di sana. Saya juga senang dapat melihat tim berkembang dan menemukan minat mereka melalui proses ini, hal ini adalah salah satu yang paling berharga dari pekerjaan saya,” ujar Wiza.
Minat dan kecintaannya pada lingkungan telah membuat Wiza sampai disini, menjadi aktivis dengan segudang prestasi dan menjadi sosok Wanita inspiratif dunia yang patut dicontoh.
Advertisement