Liputan6.com, Kyiv - Negara-negara G7 sepakat untuk terus mendukung Ukraina selama mungkin. Bantuan sistem pertahanan juga akan diberikan untuk Ukraina.
Komitmen tersebut juga sebelumnya sudah diberikan oleh Gedung Putih, bahwa dukungan AS tidak akan segera berakhir, meski perang Rusia-Ukraina belum kunjung usia hingga kuartal akhir 2022.
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan VOA, Rabu (12/10/2022), komitmen dukungan itu diberikan G7 kepada Presiden Ukraina dalam konferensi virtual. Para pemimpin G7 menegaskan akan terus mendukung Ukraina mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayah.
Rezim Presiden Rusia Vladimir Putin juga disebut melakukan kejahatan perang.
"Kami akan membawa Presiden Putin dan pihak-pihak yang bertanggung jawab pada akuntabilitas," ujar pihak G7.
Lebih lanjut, pihak G7 memperingatkan pihak Presiden Putin terkait retorika nuklir yang mulai digaungkan. G7 berjanji akan ada "konsekuensi-konsekuensi berat" apabila pemerintah Rusia menggunakan senjata nuklir. G7 belum secara spesifik menjelaskan apa konsekuensi tersebut.
Rusia diestimasi memiliki 2.000 senjata taktis nuklir, termasuk yang ukurannya kecil dan bisa dibawa, sehingga disebut "bom koper".
Meski ada retorika nuklir dari Rusia, pemerintah AS menyebut belum ada indikasi bahwa Rusia akan benar-benar menggunakan senjata tersebut. Pihak AS pun menegaskan penggunaan senjata nuklir bukanlah sesuatu yang diharapkan.
"Sama sekali tidak ada ketertarikan dari pihak kami atau sekutu dan mitra kami untuk melihat perang ini tereskalasi ke penggunaan senjata pemusnah massal," ujar John Kirby, koordinator komunikasi strategis Dewan Keamanan Nasional AS.
Kemlu Rusia Sebut Ukraina Sebagai Sel Teroris
Retorika teroris turut dimainkan di perang Rusia-Ukraina. Terkini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut Ukraina seperti sel teroris.
Ucapan itu diberikan usai pihak Ukraina menghancurkan jembatan Krimea yang dianggap infrastruktur penting oleh Rusia.
Berdasarkan laporan media pemerintah Rusia, TASS, Rabu (12/10), jubir Kemlu Rusia Maria Zakharova menyebut tindakan Ukraina seperti organisasi-organisasi teroris terkeji.
Zakharova juga menyorot bahwa Ukraina mendapatkan uang, intelijen, dukungan politik, dan senjata dari negara-negara Barat. Zakharova berkata dukungan itu digunakan untuk "aksi-aksi tak kenal hukum yang dilaksanakan seperti sel-sel teroris terburuk."
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyebut bahwa penghancuran jembatan Krimea dilakukan oleh pihak Ukraina, serta melabel serangan itu sebagai aksi terorisme.
Advertisement
Putin Bombardir Kota-Kota Ukraina
Pada Senin 10 Oktober 2022, kota-kota di Ukraina, termasuk ibu kota Kiev, telah dihujani oleh serangan rudal, tak lama setelah Presiden Rusia Vladimir Putin murka lantaran jembatan Krimea mendapat serangan.
"Ukraina berada di bawah serangan rudal. Ada informasi tentang serangan di banyak kota di negara kita," kata Kyrylo Tymoshenko, wakil kepala kantor presiden, di media sosial. Ia juga menyerukan penduduk untuk "tinggal di tempat penampungan".
Di Kiev, wartawan AFP mendengar beberapa ledakan keras mulai sekitar pukul 08.15 waktu setempat.
Serangan terakhir Rusia di Kiev terjadi pada 26 Juni.
Seorang wartawan AFP di kota itu mengatakan salah satu proyektil rudal mendarat di dekat taman bermain anak-anak, dan asap mengepul dari kawah besar di lokasi tumbukan.
KBRI Kyiv: Rudal Rusia Jatuh 5 Kilometer dari Kedutaan di Ukraina
KBRI Kyiv memberikan update terkait kondisi WNI di Ukraina usai serangan udara Rusia pada Senin 10 Oktober 2022. Salah satu ledakan terjadi beberapa kilometer saja dari kantor kedutaan.
Juru bicara KBRI Kyiv, Yuddy Alamin, menjelaskan bahwa ada sekitar 36 WNI yang masih ada di Ukraina, termasuk staf di kedutaan. Mayoritas WNI berada di Kyiv.
"WNI kita di sini kurang lebih ada 36 orang termasuk staf KBRI. Mereka ada kebanyakan di kota Kyiv, tapi kemarin waktu kita WA dengan mereka, mereka dalam kondisi aman," ujar Yuddy Alamin kepada Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (11/10).
"Mengenai serangannya sendiri memang kemarin agak bertubi-tubi di Kyiv. Ledakannya ada yang dekat lima kilometer di dekat stasiun, tetapi tidak membahayakan, artinya kita tetap sebagaimana biasanya, tapi ada beberapa staf KBRI enggak bisa masuk karena transportasi umum terhambat," ia menambahkan.
Yuddy menjelaskan bahwa para WNI yang masih di Ukraina kebanyakan menetap karena terikat hubungan pernikahan. Setengah dari jumlah WNI di Ukraina adalah staf kedutaan, termasuk orang Indonesia di Ukraina yang direkrut Kemlu (locally recruited staff).
Pada Selasa ini, Yuddy menyebut sudah ada dua kali suara sirene yang terdengar. Suara itu menandakan bahwa warga harus berlindung.
"We have less than one minute untuk melakukan perlindungan diri," ujar Yuddy.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta masyarakat berlindung di shelter ketika serangan Rusia terjadi pada Senin kemarin. Pihak KBRI Kyiv tak memiliki bomb shelter khusus, namun Yuddy optimistis bahwa lingkungan di kedutaan aman, sebab Indonesia merupakan negara sahabat. Pihak kedutaan pun tidak merasa terlalu terancam.
"Kedutaan yang dianggap sebagai negara sahabat dari Ukraina itu biasanya kita dijaga oleh security dari pihak pemerintah Ukraina," jelas Yuddy.
Advertisement