Liputan6.com, Jakarta - Krisis perbankan yang disebabkan oleh ambruknya Silicon Valley Bank dan Signature Bank telah meningkatkan kemungkinan resesi di Amerika Serikat.
Di AS, regulator telah menutup dan menjual tiga bank menengah Amerika Serikat sejak awal Maret 2023 yaitu; Silicon Valley Bank, Signature Bank, dan First Republic.
Baca Juga
Kegagalan tersebut merupakan yang terbesar yang melanda AS sejak krisis keuangan 2008, dikutip dari laman BBC, Rabu (3/5/2023).
Advertisement
Mengapa kita mesti khawatir?
Runtuhnya perbankan di AS bisa memicu kekhawatiran tentang keamanan dana nasabah, sehingga banyak yang akan menarik uang secara massal.
Bank-bank sentral menanggapi krisis dengan langkah-langkah untuk menyediakan uang ekstra untuk memastikan transaksi keuangan berlanjut seperti biasa.
Langkah serupa juga pernah diambil selama krisis keuangan tahun 2008 dan awal pandemi. Tujuannya untuk menopang kepercayaan dan memastikan bank masih dapat memberikan pinjaman.
Efek dari ini semua juga membuat saham bank sudah pasti goyah, karena kepercayaan terguncang.
Mengapa Krisis Terjadi Sekarang?
Gejolak tersebut merupakan bagian dari kejatuhan setelah bank sentral, termasuk di Amerika Serikat dan Inggris. Menaikkan suku bunga tajam tahun lalu demi mencoba meredam kenaikan harga.
Silicon Valley Bank yang melayani industri teknologi dan dirugikan karena sektor tersebut juga melambat. Kekhawatiran menyebar, menjatuhkan Signature Bank beberapa hari kemudian dan akhirnya juga dialami First Republic.
Komentar OECD Soal Krisis Perbankan di Silicon Valley Bank
Runtuhnya tiga bank AS baru-baru ini dan gejolak baru di Credit Suisse pemberi pinjaman Swiss sekali lagi menempatkan peraturan keuangan di bawah pengawasan ketat.
Cormann menggambarkan kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) sebagai "kegagalan yang sangat signifikan". Namun dia mengatakan, telah menilai bahwa sistem perbankan global, serta AS, dikapitalisasi dengan baik.
Dengan demikian, masalah seputar SVB, Signature Bank, Silvergate Bank, dan Credit Suisse diperkirakan tidak akan mengarah pada masalah sistemik yang lebih luas, menurut Cormann.
Namun, masalah di Silicon Valley Bank juga menimbulkan pertanyaan bagi regulator, khususnya, apakah bank seharusnya diperlakukan sebagai sistem penting untuk tujuan pengawasan peraturan.
Dia pun mengakui bahwa ekonom global masih perlu mewaspadai dampak dari krisis di Silicon Valley Bank. "Ini adalah tingkat turbulensi keuangan yang meningkatkan tingkat risiko ekonomi AS dan global,” katanya.
"Kami tentu perlu memastikan bahwa kami mempelajari pelajaran dengan sangat cepat tentang apa dan mengapa krisis ini terjadi," jelasnya.
Advertisement
BI Ramal Ekonomi Global Tumbuh 2,6 Persen di 2023
Bank Indonesia (BI) mengatakan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih baik dari proyeksi sebelumnya.
Mengutip laman resmi BI, Jumat (17/3/2023) pertumbuhan ekonomi global 2023 diprakirakan mencapai 2,6 persen. Menurut bank sentral, angka tersebut sejalan dengan dampak positif pembukaan ekonomi di China dan penurunan disrupsi suplai global.
Selain itu, BI juga melihat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Eropa lebih baik dari proyeksi sebelumnya, dengan risiko resesi yang menurun.
Tetapi BI mencatat, perbaikan prospek ekonomi global tersebut diprakirakan menaikkan harga komoditas non-energi, di tengah harga minyak yang menurun akibat berkurangnya disrupsi suplai.
"Perkembangan positif ekonomi global tersebut serta ekspektasi kenaikan upah karena keketatan pasar tenaga kerja di AS dan Eropa mengakibatkan proses penurunan inflasi global berjalan lebih lambat, sehingga mendorong kebijakan moneter ketat negara maju berlangsung lebih lama sepanjang 2023," demikian keterangan tertulis Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono.
"Pengetatan kebijakan moneter dimaksud, ditambah munculnya kasus penutupan tiga bank di AS, meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian menahan aliran modal ke negara berkembang dan meningkatkan tekanan nilai tukar di berbagai negara,"lanjutnya.
Maka dari itu, Bank Indonesia menyatakan akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah guna memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global.
Upaya itu termasuk mengantisipasi dampak rambatan penutupan bank di AS terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar Rupiah.