Gelombang Panas Ketiga di Meksiko Tewaskan 8 Orang, Suhu Capai 40 Derajat Celcius

"Delapan orang tewas dalam gelombang panas ketiga yang melanda Meksiko sejak pertengahan April," kata kementerian kesehatan negara itu, Jumat 16 Juni 2023 seperti dikutip dari AFP.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 18 Jun 2023, 15:15 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2023, 15:15 WIB
Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash)
Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash)

Liputan6.com, Mexico City - Korban jiwa akibat gelombang panas yang melanda Meksiko dilaporkan bertambah.

"Delapan orang tewas dalam gelombang panas ketiga yang melanda Meksiko sejak pertengahan April," kata kementerian kesehatan negara itu, Jumat 16 Juni 2023 seperti dikutip dari AFP.

Suhu mencapai rekor tertinggi 35 derajat Celcius (95 Fahrenheit) di ibu kota Mexico City minggu ini.

Tujuh korban meninggal karena heatstroke atau sengatan panas dan satu di antaranya dehidrasi antara 14 April dan 12 Juni, kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

Di kota timur laut Monterrey, suhu melebihi 40 derajat Celcius, sementara tekanan air berkurang di rumah-rumah dan meningkatnya permintaan listrik termasuk AC menyebabkan pemadaman listrik.

Wendy Tijerina, seorang warga Monterrey, mengatakan panas lebih terasa karena kota itu terletak di zona industri.

"Ada kekurangan air, Anda tidak bisa memandikan anak-anak atau bahkan menggunakan kipas angin karena listrik padam," katanya kepada AFP.

Tijerina juga mengatakan keluarganya mencoba minum banyak air untuk melindungi diri dari heatstroke.

Pemerintah negara bagian Nuevo Leon, tempat Monterrey berada, membatasi waktu anak-anak bersekolah menjadi dua jam sehari untuk menghindari sinar matahari.

Tahun 2022 lalu, Meksiko mengumumkan darurat kekeringan di beberapa bagian negara itu karena gelombang panas dan kelangkaan air hujan yang mengeringkan waduk.

Pihak berwenang di beberapa kota, termasuk Monterrey, mengizinkan rumah tangga untuk mengakses air yang mengalir hanya beberapa jam sehari selama beberapa minggu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Ahli Ungkap Potensi 2023 Jadi Tahun Terpanas dalam Sejarah Bumi

Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash/Xurzon)
Ilustrasi gelombang panas. (Unsplash/Xurzon)

Temperatur global dilaporkan telah memecahkan rekor bulan ini. Suhu rata-rata global sejauh ini pada Juni 2023 meningkat hampir satu Celcius di atas level yang sebelumnya tercatat pada bulan yang sama.

Meski Juni belum usai dan rekor baru kemungkinan terpecahkan, para ilmuwan iklim menilai fenomena ini menunjukkan penguatan pemanasan global, yang dapat mencatat 2023 sebagai tahun terpanas melampaui tahun 2016.

"Terjadi pemanasan global yang luar biasa sejauh ini pada Juni," demikian laporan Copernicus, unit pengamatan Bumi Uni Eropa seperti dilansir The Guardian, Jumat (16/6/2023).

Laporan Copernicus menyebutkan bahwa pada sejumlah hari di awal Juni 2023, peningkatan suhu bahkan tembus 1,5 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri.

"Ini mungkin pertama kalinya terjadi sejak industrialisasi," ungkap laporan Copernicus.

Peningkatan suhu Bumi, yang dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, diduga akan diperparah oleh El Nino, fenomena alami memanasnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik di atas kondisi normal. El Nino lazimnya memicu lonjakan suhu di seluruh dunia.

Pekan lalu, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) mengatakan bahwa El Nino telah tiba dan akan secara bertahap menguat hingga awal tahun depan.

"Anomali suhu permukaan saat ini berada pada atau mendekati rekor dan tahun 2023 hampir pasti akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah," ungkap Ilmuwan iklim dari Universitas Pennsylvania Michael Mann.

"Hal itu kemungkinan juga berlaku untuk hampir setiap tahun El Nino di masa depan, selama kita terus memanaskan planet ini dengan pembakaran bahan bakar fosil dan polusi karbon."

Ahli meteorologi Finlandia Mika Rantanen menuturkan bahwa suhu panas yang melonjak pada Juni 2023 "luar biasa" dan "nyaris dipastikan" akan menghasilkan rekor bulan Juni paling panas.

Tahun 2023 sendiri telah mencatat rekor gelombang panas parah yang mengguncang sejumlah wilayah, dari Puerto Riko ke Siberia hingga Spanyol, sementara suhu panas di Kanada membantu memicu kebakaran hutan yang menutupi langit New York dan Washington dengan asap beracun pekan lalu.

Laporan terbaru yang dirilis NOAA pada Rabu (14/6) menyebutkan bahwa dunia mengalami bulan Mei terpanas ketiga dalam rekor suhu 174 tahun, di mana Amerika Utara dan Amerika Selatan sama-sama menderita bulan Mei terpanas yang pernah tercatat.

Sebelumnya, pada Mei, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah memperingatkan bahwa suhu global mungkin akan melonjak selama lima tahun ke depan. Pemicunya adalah El Nino dan emisi, dengan rekor tahun terpanas baru hampir pasti terjadi selama periode tersebut.

 


Butuh Langkah Radikal untuk Tangani Krisis Iklim

Ilustrasi gelombang panas. (Pixabay)
Ilustrasi gelombang panas. (Pixabay)

Sementara orang-orang merasakan panas di darat, semburan panas yang luar biasa dilaporkan terjadi di laut. NOAA mengonfirmasi bulan kedua berturut-turut rekor suhu permukaan laut yang tinggi pada Mei 2023.

Suhu panas ekstrem di lautan, yang menutupi 70 persen permukaan dunia, memengaruhi suhu global secara keseluruhan hingga mendorong kenaikan permukaan laut.

"Lautan terus memanas dan sekarang kita melihat rekor suhu yang tentunya mengkhawatirkan mengingat perkiraan El Nino akan menguat. Itu pasti akan berdampak pada seluruh dunia," ujar ilmuwan iklim NOAA Ellen Bartow-Gillies.

Bartow-Gillies mengatakan bahwa NOAA belum memproses data suhu untuk bulan Juni, namun memperkirakan peningkatan suhu panas akan berlanjut, sekalipun kelak El Nino bukan faktor utama.

"Kita memulai tahun ini dengan cukup panas, ini belum pernah terjadi sebelumnya, namun kita bisa lebih panas dengan El Nino," kata Bartow-Gillies.

Terlepas dari apakah tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, para ilmuwan memperingatkan bahwa dampak yang meningkat dari krisis iklim sekarang jelas terlihat dan tidak akan melambat sampai emisi gas rumah kaca dikurangi secara radikal.

"Tanpa pemangkasan emisi yang lebih kuat, perubahan yang kita lihat ini hanyalah awal dari dampak buruk yang bisa kita rasakan," tutur ilmuwan atmosfer dari Universitas Cornell Natalie Mahowald. "Tahun ini dan peristiwa-peristiwa ekstrem yang telah kita lihat sejauh ini harus menjadi peringatan."

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya