Liputan6.com, Libreville - Sekelompok perwira tinggi militer di Gabon, Afrika Barat, mengumumkan di televisi publik pada Rabu (30/8/2023) bahwa mereka mengakhiri rezim saat ini dan membatalkan hasil pemilu nasional.
Pernyataan itu muncul tepat setelah otoritas pemilu di negara itu menyatakan Presiden Ali Bongo Ondimba sebagai pemenang untuk masa jabatan berikutnya.
Bongo telah berkuasa di negara tersebut selama 14 tahun, mengikuti jejak ayahnya yang memimpin negara tersebut selama lebih dari empat dekade sebelumnya. Status dan keberadaan pemimpin yang tampaknya digulingkan itu belum jelas.
Advertisement
Kantor berita Perancis AFP melaporkan bahwa daerah sekitar kediamannya di ibu kota Libreville tampak sepi, namun suara tembakan terdengar di tempat lain selama pengumuman oleh petinggi militer.
Jika upaya kudeta militer di Gabon berhasil maka ini akan menjadi kudeta kedelapan di Afrika Barat dan Tengah sejak tahun 2020. Kudeta terakhir di Niger terjadi pada Juli. Perwira tinggi militer juga merebut kekuasaan di Mali, Guinea, Burkina Faso, dan Chad.
"Seluruh institusi republik dibubarkan," kata seorang perwira melalui siaran langsung di televisi, di mana dia dikelilingi oleh sekitar selusin tentara, seperti dilansir CBS News. "Pemerintah, Senat, Majelis Nasional dan Mahkamah Konstitusi."
Dia juga mengumumkan penutupan perbatasan negaranya sampai pemberitahuan lebih lanjut.
"Pemilu pada 26 Agustus tidak memenuhi persyaratan pemilu yang transparan, kredibel, dan inklusif seperti yang diharapkan oleh rakyat Gabon," ujar komandan tersebut yang mengatakan bicara atas nama Komite Transisi dan Pemulihan Lembaga. "Kami telah memutuskan untuk mempertahankan perdamaian dengan mengakhiri rezim saat ini."
"Untuk tujuan ini, pemilu 26 Agustus 2023 dan hasilnya dibatalkan."
Klaim Kecurangan Pemilu
Militer Gabon mengatakan bahwa mereka telah memulihkan internet di negara itu pada Rabu setelah pemadaman listrik selama tiga hari. Sebelumnya pemerintahan Bongo mengklaim mematikan layanan internet untuk mencegah penyebaran "berita palsu".
Otoritas penyiaran nasional juga telah melarang beberapa saluran televisi Prancis dan menuduh liputan pemilu mereka kurang obyektif dan seimbang.
Pemilu presiden, legislatif, dan kotamadya baru-baru ini di Gabon berlangsung tanpa adanya pemantau pemilu. Sebelum pemungutan suara ditutup pada Sabtu (26/8), saingan utama Bongo, Albert Ondo Ossa – yang memenangkan 30 persen suara berdasarkan hasil yang diumumkan sebelumnya – menuduh Bongo melakukan penipuan dan mengatakan bahwa dialah pemenang sebenarnya.
Manajer kampanye Ossa, Mike Jocktane, pada Senin (28/8) menuturkan bahwa Bongo harus menyerahkan kekuasaan tanpa pertumpahan darah dan menegaskan bahwa hasil penghitungan suara parsial menunjukkan bahwa Ossa jelas-jelas unggul. Dia tidak memberikan bukti apapun atas klaimnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Prancis Elizabeth Borne mengatakan bahwa pihaknya mengikuti perkembangan di Gabon dengan saksama. Prancis merupakan bekas penguasa kolonial di Gabon.
China juga mengatakan pihaknya mengikuti dengan cermat situasi yang berkembang dan menyerukan agar keamanan Bongo dijamin.
Advertisement