Liputan6.com, Naypyidaw - Pemerintah Myanmar telah mengumumkan wajib militer bagi semua pemuda dan pemudi seiring berlanjutnya gejolak di negara tersebut.
Militer merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi melalui kudeta pada Februari 2021. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, militer Myanmar telah dikalahkan dalam serangkaian pertempuran oleh kelompok milisi etnis dan pejuang anti-kudeta.
Baca Juga
Langkah yang diumumkan pada Sabtu (10/2/2024) ini akan mengharuskan semua pria berusia 18-35 tahun dan wanita berusia 18-27 tahun, menjalani setidaknya dua tahun di bawah komando militer. Demikian seperti dilansir BBC, Senin (12/2).
Advertisement
Tidak ada rincian lebih lanjut yang dirilis. Namun, pernyataan Junta Militer Myanmar menyebutkan, kementerian pertahanan akan mengeluarkan peraturan, prosedur, perintah pengumuman, pemberitahuan, dan instruksi yang diperlukan.
Pada akhir tahun lalu, tiga kelompok etnis bersenjata di Negara Bagian Shan – didukung oleh kelompok bersenjata lain yang menentang pemerintah – menguasai penyeberangan perbatasan dan jalan yang membawa sebagian besar perdagangan dengan China via darat.
Bulan lalu, Tentara Arakan (AA) mengatakan mereka telah menguasai Paletwa di Negara Bagian Chin dan pos militer terakhir di Kota Paletwa.
Bahaya Perpecahan
Myint Swe, presiden Myanmar yang dilantik junta militer, memperingatkan negaranya dalam bahaya perpecahan jika pemerintah tidak dapat mengendalikan pertempuran.
Undang-undang yang mengatur wajib militer diperkenalkan di Myanmar pada tahun 2010, namun belum ditegakkan sampai sekarang.
Berdasarkan undang-undang itu, masa kerja dapat diperpanjang hingga jangka waktu lima tahun selama keadaan darurat. Mereka yang mengabaikan panggilan untuk bertugas bisa dipenjara untuk jangka waktu yang sama.
Keadaan darurat diumumkan oleh junta negara itu pada tahun 2021 dan baru-baru ini diperpanjang untuk enam bulan berikutnya.
Advertisement
Kemunduran Demokrasi
Myanmar telah mengalami hampir 50 tahun pemerintahan di bawah rezim militer yang menindas sebelum bergerak menuju demokrasi pada tahun 2011. Namun, pada 1 Februari 2021, militer mengumumkan kembali menguasai negara tersebut.
Kekacauan dan pertempuran telah memengaruhi Myanmar sejak saat itu, dengan lebih dari satu juta orang mengungsi dan ribuan orang terbunuh.
Kinerja militer dalam pertempuran baru-baru ini dengan kelompok etnis bersenjata – beberapa di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kemunduran – dilaporkan telah memicu kritik dan keraguan di kalangan pendukungnya.