16 Juni 1976: Tragedi Pemberontakan Soweto di Afrika Selatan Bunuh 176 Orang, jadi Awal Hari Pemuda

Pemberontakan anak muda kulit hitam ini menjadi awal peringatan hari pemuda di Afrika Selatan.

oleh Santi Rahayu diperbarui 16 Jun 2024, 06:00 WIB
Diterbitkan 16 Jun 2024, 06:00 WIB
Prajurit Rusia menjaga area di depan sebuah tank di sebuah jalan di Rostov-on-Don, Rusia, Sabtu, 24 Juni 2023. Menanggapi deklarasi pemberontakan bersenjata oleh kepala tentara bayaran Wagner, Yevgeny Prigozhin. (AP)
Ilustrasi penjagaan polisi. (AP)

Liputan6.com, Soweto - Tepat hari ini, 48 tahun yang lalu, sebuah pemberontakan yang menewaskan sekitar 176 pengunjuk rasa terjadi di Afrika Selatan.

Pemberontakan yang dipimpin oleh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) ini dimulai pada tanggal 16 Juni 1976 sebagai tanggapan atas kebijakan pendidikan pemerintah yang memaksa penggunaan bahasa Afrikaans sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah setempat.

Bahasa Afrikaans adalah bahasa yang dikembangkan oleh komunitas Afrikaner, (keturunan pemukim Belanda) yang tiba di Afrika Selatan pada abad ke-17.

Pada masa apartheid (politik diskriminasi), bahasa Afrikaans dianggap sebagai alat penindasan dan simbol kekuasaan rezim apartheid. Selain itu, banyak penduduk Afrika yang tidak mengerti bahasa Afrikaans, sehingga bahasa ini dianggap asing dan tidak relevan bagi mereka.

Melansir dari Zinn Education Project, Minggu (16/6/2024), protes ini dikenal sebagai pemberontakan Soweto, diperkirakan sekitar 20.000 siswa ikut serta dalam protes tersebut.

Polisi menembakkan gas air mata dan peluru ke arah para siswa yang berdemonstrasi. Jumlah resmi pengunjuk rasa yang tewas akibat pemberontakan itu tercatat sekitar 176 orang, tetapi perkiraan korban sebenarnya jauh lebih tinggi.

Alasan yang memicu pemberontakan ini dapat ditelusuri kembali melalui kebijakan-kebijakan pemerintah Apartheid yang saat itu menghasilkan Bantu Education Act (Undang-Undang Pendidikan Bantu) pada tahun 1953.

Munculnya Black Consciousness Movement (BCM) atau Gerakan Kesadaran Kulit Hitam dan pembentukan South African Students Organisation (SASO) atau Organisasi Mahasiswa Afrika Selatan meningkatkan kesadaran politik banyak mahasiswa, sementara yang lainnya bergabung dengan gelombang sentimen anti-Apartheid dalam komunitas mahasiswa.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Menjadi Demonstrasi Besar-Besaran

Dijarah Pendemo, Begini Kondisi Toko-Toko  di AS
Seorang pendemo memasuki toko melalui jendela yang rusak di New York, AS (1/6/2020). Sejumlah toko di Amerika Serikat dijarah oleh pendemo yhang mengecam kematian warga kulit hitam George Floyd. (Foto AP / Frank Franklin II)

Pada tahun 1974, ketika pemerintah menetapkan bahwa bahasa Afrikaans dan bahasa Inggris harus digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, pelajar kulit hitam mulai bergerak untuk menentang kebijakan ini.

Di tengah perjalanan untuk menyuarakan pendapatnya, mereka dihadang oleh polisi bersenjata lengkap yang mengarahkan gas air mata dan menembak peluru ke arah para mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.

Ini mengakibatkan pemberontakan besar yang berkembang menjadi perlawanan terhadap pemerintah. Meskipun awalnya dimulai di daerah Soweto, Afrika Selatan, pemberontakan ini menyebar ke seluruh negeri dan berlanjut hingga tahun berikutnya.

Pemberlakuan bahasa Afrikaans bersama dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dianggap sebagai penyebab utama Pemberontakan Soweto, tetapi sebenarnya ada berbagai faktor di balik kerusuhan mahasiswa tahun 1976.

Faktor-faktor tersebut dapat dilihat di Undang-Undang Pendidikan Bantu yang diperkenalkan oleh pemerintah Apartheid pada tahun 1953.


Penduduk Pribumi Tidak Setara Dengan Orang Kulit Putih

20170206-Polisi Prancis Sodomi Pemuda, Ratusan Warga Berdemo di Paris-Prancis
Ilustrasi pendemo. (AP Photo/Milos Krivokapic)

Ketentuan dalam Undang-Undang Pendidikan "Bantu" dan beberapa kebijakan yang diumumkan oleh Departemen Pendidikan Bantu berperan dalam menyebabkan pemberontakan tersebut.

Dr. Hendrik F. Verwoerd dari Departemen Urusan Pribumi yang merancang Undang-Undang Pendidikan Bantu, pernah menyatakan bahwa “Penduduk asli (kulit hitam) harus diajarkan sejak dini bahwa kesetaraan dengan orang Eropa (kulit putih) tidak diperuntukkan bagi mereka.”

Tanggal 16 Juni kini diperingati sebagai hari libur nasional di Afrika Selatan, dikenal sebagai Hari Pemuda, untuk mengenang peristiwa bersejarah Pemberontakan Soweto.

 

 


Siapa Tokoh yang Berjuang Melawan Politik Apartheid?

[Bintang] Cerita Nelson Mandela yang Jatuh Cinta denga Batik Indonesia
Nelson Mandela dengan batik. (Foto: theGrio)

Nelson Mandela adalah seorang tokoh yang berjuang melawan politik apartheid di Afrika Selatan. Ia lahir pada tanggal 18 Juli 1918 di desa Mvezo, Transkei, Afrika Selatan. Pendidikan Mandela dimulai di Sekolah Misionaris Methodist di desanya, kemudian ia melanjutkan studinya di sekolah menengah di Fort Hare University College di Alice.

Nelson Mandela diakui oleh dunia sebagai salah satu tokoh perjuangan kemanusiaan yang paling terkenal dan dihormati. Ia dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 1993, dan menjadi Presiden Afrika Selatan yang pertama pada tahun 1994 setelah pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Melalui dedikasinya yang luar biasa, Mandela telah mengilhami banyak orang di seluruh dunia untuk berjuang melawan ketidakadilan dan mencari perdamaian.

Untuk mengenal lebih dalam tentang tokoh yang berjuang melawan politik apartheid ini, bagaimana perjuangannya, serta bagaimana pandangan politiknya, simak penjelasan selengkapnya berikut ini, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (25/4/2024).

Nelson Mandela adalah seorang tokoh yang berjuang melawan politik apartheid di Afrika Selatan. Peran besar Mandela dalam perjuangan ini dimulai ketika ia bergabung dengan Kongres Nasional Afrika (ANC). Ia berperan penting dalam membentuk sisi gerakan perlawanan yang bertujuan untuk menentang diskriminasi rasial di negara tersebut.

Mandela dan ANC berjuang melawan pemerintah yang secara sistematis membedakan orang berdasarkan rasnya. Mereka menyuarakan perlawanan dengan menggunakan segala macam cara, termasuk aksi protes, boikot ekonomi, dan pemogokan. Upaya mereka untuk memerangi apartheid mendapat pengakuan internasional dan simpati di seluruh dunia.

Infografis Mencari Dalang Demo Rusuh Tolak UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Mencari Dalang Demo Rusuh Tolak UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya