Liputan6.com, Manila - Tiongkok mengadopsi langkah strategis baru untuk beberapa negara tetangganya di Asia Tenggara dan Asia Timur dari pengaruh Amerika Serikat dan Jepang, sementara pada saat yang sama melanjutkan dominasi militernya di Laut China Selatan dan wilayah lain di Pasifik.
Konflik China dengan sejumlah negara juga tidak terhindarkan. Pada tanggal 19 Agustus, kapal Penjaga Pantai China bertabrakan dengan kapal patroli Penjaga Pantai Filipina selama konfrontasi di dekat Beting Sabina di Kepulauan Spratly di Laut China Selatan.
Baca Juga
Itu terjadi ketika dua kapal penjaga pantai milik Filipina sedang dalam perjalanan untuk memasok kembali personel di Pulau Flat, yang disebut oleh Manila sebagai Pulau Patag dan Pulau Lawak.
Advertisement
China menyebut pulau ini sebagai Nanshan. Penjaga Pantai Filipina mengatakan karena tabrakan tersebut kapal-kapalnya mengalami kerusakan struktural yang parah.
Peristiwa ini terjadi kurang dari dua minggu setelah dua pesawat China menjatuhkan suar di jalur jet tempur Angkatan Udara Filipina yang sedang melakukan patroli rutin di atas Beting Scarborough di Laut China Selatan.
Sebelumnya pada tanggal 17 Juni, personel Penjaga Pantai China menyerang anggota Penjaga Pantai Filipina di dekat Beting Thomas Kedua di Laut China Selatan.
Beberapa personel Penjaga Pantai Filipina terluka, sementara salah satu dari mereka kehilangan ibu jari dalam bentrokan tersebut.
Selain itu, Penjaga Pantai China merusak peralatan Penjaga Pantai Filipina, termasuk senjata api dan perahu karet, dikutip dari laman europeantimes, Senin (3/9/2024).
Menyusul insiden ini, menurut berbagai laporan media, Filipina mendesak China untuk meredakan ketegangan di Laut China Selatan.
Namun, alih-alih mengindahkan seruan Manila untuk meredakan ketegangan di kawasan tersebut, Beijing memilih untuk mengintensifkannya dengan personel Penjaga Pantai China yang secara sengaja menargetkan kepentingan Manila di Laut China Selatan.
Dukungan Jepang dan AS untuk Filipina
Di tengah perkembangan tersebut, baik Jepang maupun AS telah meyakinkan Filipina bahwa mereka akan mendukung Manila dalam meningkatkan keamanannya di kawasan tersebut.
Pada tanggal 20 Agustus, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan, sembari mengutuk agresivitas Tiongkok di Laut China Selatan, berdiskusi dengan mitranya dari Filipina Eduardo M Ano mengenai pencairan dana sebesar USD 500 juta yang baru-baru ini diumumkan AS untuk Manila berdasarkan Undang-Undang Anggaran Tambahan Keamanan Indo-Pasifik yang bertujuan membantu negara Asia Tenggara tersebut memodernisasi angkatan bersenjata dan penjaga pantainya.
AS dan Filipina terikat oleh Perjanjian Pertahanan Bersama yang telah berusia 73 tahun, yang menyatakan bahwa serangan terhadap salah satu negara di kawasan Pasifik akan mendorong negara-negara mitra untuk bertindak dan menghadapi bahaya bersama.
“Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina tahun 1951 mencakup serangan bersenjata terhadap angkatan bersenjata Filipina, kapal umum, atau pesawat, termasuk milik Penjaga Pantainya, di mana pun di Laut China Selatan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Vedant Patel pada tanggal 20 Agustus.
Di satu sisi, ada kecemasan yang nyata di kalangan otoritas di Beijing atas hubungan pertahanan Jepang-Filipina yang semakin erat.
Advertisement
Pakta Kerja Sama Jepang dan Filipina
Pada tanggal 8 Juli 2024, Tokyo dan Manila menandatangani Perjanjian Akses Timbal Balik, yang memungkinkan pengerahan pasukan di wilayah masing-masing.
Pakta ini, yang ditandatangani di tengah meningkatnya kekhawatiran di dunia atas meningkatnya kekuatan militer Tiongkok, telah dibenarkan oleh Jepang dengan Kementerian Luar Negerinya yang menyatakan bahwa hal itu akan “lebih lanjut mempromosikan kerja sama keamanan dan pertahanan antara kedua negara dan dengan tegas mendukung perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.”
Tiongkok memandang pakta ini sebagai mekanisme yang akan “memicu konfrontasi blok atau Perang Dingin baru.”
Pandangan Pengamat
Melalui mekanisme dialog dua-plus-dua, Beijing ingin membuat segala sesuatunya menguntungkannya.
“Tiongkok ingin lebih memanfaatkan kekuatan militernya yang meningkat untuk menyelaraskan orientasi politik-militer negara-negara tetangga utama seperti Korea Selatan dan Indonesia dengan tatanan regional yang berpusat pada Tiongkok,” kata South China Morning Post mengutip David Arase, profesor tetap politik internasional di Hopkins-Nanjing Centre.
Namun, baik Jepang maupun AS secara aktif bekerja sama dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik untuk menegakkan supremasi hukum, laut yang bebas dan terbuka, jalur laut yang aman dan terjamin, pembangunan berkualitas tinggi, dan tata kelola yang transparan.
Karena itu, harus dilihat bagaimana langkah strategis baru Tiongkok melalui dialog dua-plus-dua akan berdampak buruk terhadap pengaruh Jepang dan AS yang semakin besar di kawasan tersebut.
Advertisement