Liputan6.com, Gaza - Bagi seorang ayah dari Jalur Gaza, kematian pemimpin Hamas Yahya Sinwar setelah mencoba menghalau drone dengan tongkat dalam pertempuran dianggap sebagai "kematian seorang pahlawan". Sementara bagi yang lain, ini menjadi contoh bagi generasi mendatang, meskipun beberapa orang menyesalkan besarnya biaya perang yang ditimbulkan akibat konflik dengan Israel.
Sinwar, yang merancang serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang di Jalur Gaza, tewas dalam baku tembak dengan pasukan Israel pada Rabu (16/10/2024), dan kematiannya diumumkan pada Kamis (17/10). Selama setahun terakhir, Israel melakukan pengejaran terhadap Sinwar. Demikian seperti dilansir VOA Indonesia, Minggu (20/10).
Baca Juga
Sebuah video menunjukkan detik-detik terakhir kehidupan Sinwar. Dia tampak menggunakan masker dan terlihat terluka di sebuah apartemen yang hancur akibat tembakan.
Advertisement
Namun, di tengah kondisi tersebut dia tetap berusaha melemparkan tongkat ke arah drone yang merekamnya. Hal itu memantik rasa bangga di kalangan warga Palestina.
"Dia meninggal sebagai pahlawan, menyerang, bukan melarikan diri, mencengkeram senapannya, dan bertempur melawan tentara pendudukan di garis depan," sebut pernyataan Hamas yang berduka atas kematian Sinwar.
Dalam pernyataan itu, Hamas bertekad bahwa kematian Sinwar hanya akan memperkuat gerakannya, seraya menambahkan mereka tidak akan berkompromi dengan syarat-syarat untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel.
"Dia meninggal dengan mengenakan rompi militer, bertempur dengan senapan dan granat, dan ketika dia terluka dan berdarah, dia tetap bertempur dengan tongkat. Beginilah cara para pahlawan meninggal," kata Adel Rajab (60), seorang ayah dua anak di Jalur Gaza.
Ali, seorang pengemudi taksi berusia 30 tahun di Jalur Gaza mengomentari detik-detik terakhir Sinwar yang terekam kamera drone Israel dengan mengatakan, "Saya telah menonton video itu 30 kali sejak tadi malam, tidak ada cara yang lebih baik untuk meninggal."
"Saya akan menjadikan video ini sebagai tugas harian untuk ditonton, demi anak-anak saya dan cucu-cucu saya di masa mendatang," kata ayah dua anak itu.
Serangan yang direncanakan Sinwar terhadap komunitas Israel setahun lalu, menurut catatan dari pihak Israel, mengakibatkan sekitar 1.200 orang tewas dan 253 orang lainnya diculik dan dibawa ke Jalur Gaza sebagai sandera.
Perang Israel berikutnya telah menghancurkan Jalur Gaza. Otoritas kesehatan Jalur Gaza mencatat serangan Israel sejak hari yang sama menewaskan lebih dari 42.000 warga Palestina, dengan 10.000 korban tewas lainnya yang tidak terhitung jumlahnya diperkirakan terkubur di bawah reruntuhan.
Dalam pidato terakhirnya, Sinwar menyatakan bahwa dia lebih memilih mati di tangan Israel daripada terkena serangan jantung atau kecelakaan mobil. Pernyataannya itu sering dibagikan oleh warga Palestina lewat platform daring.
"Hadiah terbaik yang dapat diberikan musuh dan pendudukan kepada saya adalah membunuh saya, dan saya akan menjadi martir di tangan mereka," ujarnya.
Bukti Klaim Israel Salah
Saat ini, beberapa warga Palestina bertanya-tanya apakah Israel akan menyesal membiarkan keinginan itu disiarkan secara publik, yang bisa dijadikan alat perekrutan bagi organisasi yang berkomitmen untuk menghancurkannya.
"Mereka bilang dia bersembunyi di terowongan dan menjaga sandera Israel di dekatnya untuk menyelamatkan hidupnya. Kemarin, kami melihat dia memburu tentara Israel di Rafah, tempat pendudukan sudah beroperasi sejak Mei," kata Rasha, seorang ibu empat anak yang kini mengungsi.
"Begitulah cara para pemimpin bertindak, dengan senapan di tangan. Saya mendukung Sinwar sebagai seorang pemimpin dan hari ini saya bangga padanya sebagai seorang martir."
Sebuah jajak pendapat pada September menunjukkan mayoritas warga Jalur Gaza menganggap serangan 7 Oktober sebagai keputusan yang salah. Semakin banyak warga Palestina pada saat itu yang ragu Sinwar akan melanjutkan perang yang telah membawa penderitaan besar bagi mereka.
Rajab, yang memuji kematian Sinwar sebagai tindakan heroik, menuturkan dia tidak mendukung serangan 7 Oktober karena percaya bahwa warga Palestina tidak siap untuk berperang habis-habisan dengan Israel. Namun, dia mengatakan cara kematian Sinwar membuatnya bangga sebagai warga Palestina.
Baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat, orang-orang mempertanyakan apakah kematian Sinwar akan mempercepat akhir perang. Kedua tempat tersebut merupakan tempat Hamas mendapatkan dukungan yang signifikan.
Di Hebron, yang menjadi pusat konflik di Tepi Barat, Ala'a Hashalmoon menyatakan bahwa kematian Sinwar tidak akan menghadirkan pemimpin yang lebih memilih pendekatan damai.
"Kesimpulannya, siapa pun yang mati akan digantikan oleh seseorang yang lebih keras kepala," ujarnya.
Dan di Ramallah, Murad Omar (54), memperkirakan tidak banyak yang akan berubah di lapangan.
"Perang akan terus berlanjut dan tampaknya tidak akan segera berakhir," kata dia.
Advertisement