Liputan6.com, Jakarta - Komunitas Rwanda di Indonesia bersama Kedutaan Besar Republik Rwanda di Jakarta menggelar peringatan 31 tahun genosida terhadap Suku Tutsi di Rwanda tahun 1994 pada hari Jumat (11/4). Acara bertema 'Remember, Unite, Renew' (Mengingat, Bersatu, Memperbarui) itu diadakan di Hotel Borobudur Jakarta, dihadiri oleh pejabat Pemerintah Indonesia, anggota Korps Diplomatik, dan Sahabat Rwanda.
Peringatan yang juga disebut sebagai Kwibuka dalam bahasa Kinyarwanda, mengenang genosida terhadap Suku Tutsi menawarkan sebuah platform untuk menghormati kehidupan lebih dari satu juta jiwa yang hilang dan untuk memberikan mereka martabat yang telah dilucuti oleh cara yang kejam saat mereka dibunuh.
Baca Juga
"Terus bersatu melawan segala bentuk penyangkalan, penolakan, dan impunitas genosida dengan bekerja sama menegakkan kebenaran dan keadilan," seru Duta Besar Rwanda Abdul Karim Harelimana kepada para pemimpin, warga negara, dan semua sahabat Rwanda dalam pidato pembukaan acara Kwibuka.
Advertisement
Meskipun telah mencapai banyak prestasi dan fondasi persatuan dan ketahanan yang kokoh, Duta Besar Abdul Karim Harelimana mengatakan bahwa Rwanda dan wilayah tersebut secara luas masih menghadapi tantangan dari genosida terhadap Suku Tutsi.
Menurut Duta Besar Rwanda Abdul Karim Harelimana, maraknya ideologi genosida yang menyebabkan genosida terhadap Suku Tutsi di Rwanda, masih menyebar di negara-negara tetangga dan luar negeri dengan kedok dan dukungan beberapa negara barat, terlebih lagi oleh Kerajaan Belgia.
Pada peringatan tersebut, salah satu menteri Indonesia pun menyampaikan dukungannya untuk bersatu melawan genosida.
"Solidaritas rakyat dan Pemerintah RI bersama warga Rwanda, rasa hormat yang mendalam atas kekuatan dan semangat rakyat Rwanda," ujar Menteri Koperasi Indonesia, Budi Arie Setiadi mewakili Pemerintah Indonesia.
Menteri Budi Arie Setiadi menambahkan bahwa pembaruan harus melampaui sekadar kenangan; pembaruan harus memimpin tindakan kita untuk memberdayakan generasi muda, berinvestasi dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
"Rakyat harus mendorong penguatan perdamaian lintas batas untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan damai. Indonesia akan terus mendampingi Rwanda untuk menciptakan kondisi yang mendukung perdamaian dan stabilitas berkelanjutan demi kepentingan masyarakat di kawasan dan sekitarnya," tutur Menteri Budi Arie Setiadi.
Duta Besar Maroko untuk Indonesia dan Dekan Korps Diplomatik serta Dekan Korps Diplomatik Afrika di Jakarta, Ouadia Benabdellah dalam sambutannya mengatakan bahwa Rwanda merupakan contoh menonjol dari sebuah negara yang telah berhasil mencapai keadilan dan keharmonisan sosial.
"Pengalamannya telah menjadi model yang patut dikagumi, dipelajari, dan ditiru. Beliau menambahkan bahwa Rwanda merupakan kisah sukses yang menginspirasi bagi benua Afrika yang bersatu, damai, dan berfokus pada masa depan," ucap Dubes Ouadia Benabdellah.
Sepenggal Kisah Penyintas Genosida
Frida Umuhoza, seorang penyintas genosida, berbagi kesaksiannya yang menyentuh kepada hadirin dan berbicara tentang salah satu buku yang telah diterbitkannya:Â Frida, Chosen to Die, Destined to Live.
Frida bercerita bahwa ia lahir di Nyanza Rwanda pada 14 Maret 1980, di mana ia tinggal bersama orang tua dan lima saudara kandungnya.
Frida dan keluarganya adalah korban genosida terhadap suku Tutsi di Rwanda tahun 1994. Seluruh keluarganya dibunuh selama genosida itu. Ia baru berusia 14 tahun ketika dikubur hidup-hidup bersama 15 anggota keluarganya namun secara ajaib diselamatkan oleh seorang pemuda yang bekerja untuk keluarganya.
Frida adalah satu-satunya yang selamat dari keluarganya, sekarang sudah menikah dan tinggal bersama keluarganya di Australia.
Para hadirin bersimpati padanya setelah kesaksian itu, dan banyak orang membeli buku-bukunya.
Sebagai informasi, gaun yang dikenakannya di acara itu adalah milik mendiang ibunya; ini adalah satu-satunya suvenir yang ia simpan dari ibunya.
Advertisement
