Malam tiba di Tacloban. Saya dan 3 jurnalis mengikuti patroli militer Filipina. Ada 4 serdadu di truk tersebut. Bersenjata lengkap. Toh, saya tak mampu sepenuhnya mengusir rasa cemas.
Gelap dan sepi membuat suasana semakin mencekam pada 19 November itu. Listrik mati. Hanya ada aktivitas pembersihan jalan dari puing-puing bangunan. Sesekali, kami berpapasan dengan patroli aparat keamanan yang lain. Bak kota hantu.
Pasca-bencana topan Haiyan pada 8 November 2013, tingkat kriminalitas meningkat di Tacloban. Seperti ditulis National Post, di Tacloban dan wilayah sekitarnya di Pulau Leyte, konvoi bantuan kemanusiaan dijarah, juga apapun yang ada di toko-toko. Pelakunya adalah korban selamat yang kelaparan.
"Sejumlah orang kehilangan akal sehat gara-gara kelaparan dan kehilangan anggota keluarga," kata Andrew Pomeda, seorang guru di Tacloban [baca: Horor Topan Filipina, Korban Selamat Kelaparan Mirip `Zombie`].
Saya juga mendengar dari seorang warga, petugas yang ingin mengubur jenazah ditembak orang tidak dikenal. Entah benar, entah tidak.
Untuk menekan kriminalitas, pemerintah Filipina menerapkan jam malam dari pukul 20.00 hingga 05.00 waktu setempat. Hanya orang-orang tertentu boleh berada di luar rumah.
Setelah 2 jam berpatroli, kami pun balik ke bandara untuk beristirahat. Di bandara, kami merebahkan badan dengan beralaskan sleeping bag. Di udara terbuka, beratapkan langit. Bersama pengungsi lain, kami beristirahat.
Kadang-kadang kami terbangun karena hujan membasahi. Namun karena kondisi sudah terlalu lelah, hujan pun tidak kami hiraukan.
Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 waktu setempat saat kami benar-benar terbangun. Lumayan, enam jam beristirahat. Saya mengganti pakaian yang basah akibat hujan semalam dan langsung sarapan satu bungkus makanan ringan dan air mineral.
Pagi yang cerah. Bersama teman lain, saya menawarkan makanan kami kepada pengungsi yang masih menunggu pesawat yang akan membawa mereka ke Manila dan Cebu. 2 teman kami harus bersiap-siap balik ke Jakarta melalui pesawat komersial.
Saya dan 2 teman lain lalu bersiap berkeliling Tacloban menggunakan becak motor yang banyak terparkir di depan bandara. Tujuan kami adalah balaikota Tacloban. Untuk ke sana, dibutuhkan sekitar 30 menit dari bandara.
Sepanjang perjalanan, saya bertanya-tanya apa salah kota ini sampai hancur. Meski aktivitas sudah mulai berjalan, raut wajah sedih warga Tacloban masih terlihat.
Setiba di balaikota Tacloban, terlihat sebuah kapal patroli polisi tergeletak di jalan raya. Padahal jarak dari pantai sekitar sekitar 400 meter. Saya bisa merasakan bagaimana dahsyatnya Haiyan menghancurkan kota ini.
Di balaikota, tenda-tenda relawan, LSM, media, berjejer. Di sini pemerintah kota juga menyiapkan segala kebutuhan warga. Tak jauh dari balaikota, ada tempat identifikasi mayat yang dilakukan oleh tim independen dari pemerintah dan relawan.
"Untuk keluarga yang mencari saudaranya, telah kami siapkan tempat. Kita berikan kesempatan melihat jenazah yang ada," tutur Fernandez, staf pemerintah kota Tacloban, City Hall, Leyte.
Setelah 2 jam di balaikota, kami kembali ke bandara. Kami akan pulang ke Cebu menggunakan pesawat komersial. Di perjalanan, saya melihat sejumlah bocah memotong kayu, mengambil air, atau mengangkat material dan lain-lain. Miris.
Pukul 14.00, kami terbang ke Cebu menggunakan maskapai penerbangan lokal. Di Tacloban, ada 4 maskapai komersial yang beroperasi, namun harga tiket melambung 2 kali lipat dari harga normal. Bencana memang mengubah banyak hal. (Yus)
Gelap dan sepi membuat suasana semakin mencekam pada 19 November itu. Listrik mati. Hanya ada aktivitas pembersihan jalan dari puing-puing bangunan. Sesekali, kami berpapasan dengan patroli aparat keamanan yang lain. Bak kota hantu.
Pasca-bencana topan Haiyan pada 8 November 2013, tingkat kriminalitas meningkat di Tacloban. Seperti ditulis National Post, di Tacloban dan wilayah sekitarnya di Pulau Leyte, konvoi bantuan kemanusiaan dijarah, juga apapun yang ada di toko-toko. Pelakunya adalah korban selamat yang kelaparan.
"Sejumlah orang kehilangan akal sehat gara-gara kelaparan dan kehilangan anggota keluarga," kata Andrew Pomeda, seorang guru di Tacloban [baca: Horor Topan Filipina, Korban Selamat Kelaparan Mirip `Zombie`].
Saya juga mendengar dari seorang warga, petugas yang ingin mengubur jenazah ditembak orang tidak dikenal. Entah benar, entah tidak.
Untuk menekan kriminalitas, pemerintah Filipina menerapkan jam malam dari pukul 20.00 hingga 05.00 waktu setempat. Hanya orang-orang tertentu boleh berada di luar rumah.
Setelah 2 jam berpatroli, kami pun balik ke bandara untuk beristirahat. Di bandara, kami merebahkan badan dengan beralaskan sleeping bag. Di udara terbuka, beratapkan langit. Bersama pengungsi lain, kami beristirahat.
Kadang-kadang kami terbangun karena hujan membasahi. Namun karena kondisi sudah terlalu lelah, hujan pun tidak kami hiraukan.
Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 waktu setempat saat kami benar-benar terbangun. Lumayan, enam jam beristirahat. Saya mengganti pakaian yang basah akibat hujan semalam dan langsung sarapan satu bungkus makanan ringan dan air mineral.
Pagi yang cerah. Bersama teman lain, saya menawarkan makanan kami kepada pengungsi yang masih menunggu pesawat yang akan membawa mereka ke Manila dan Cebu. 2 teman kami harus bersiap-siap balik ke Jakarta melalui pesawat komersial.
Saya dan 2 teman lain lalu bersiap berkeliling Tacloban menggunakan becak motor yang banyak terparkir di depan bandara. Tujuan kami adalah balaikota Tacloban. Untuk ke sana, dibutuhkan sekitar 30 menit dari bandara.
Sepanjang perjalanan, saya bertanya-tanya apa salah kota ini sampai hancur. Meski aktivitas sudah mulai berjalan, raut wajah sedih warga Tacloban masih terlihat.
Setiba di balaikota Tacloban, terlihat sebuah kapal patroli polisi tergeletak di jalan raya. Padahal jarak dari pantai sekitar sekitar 400 meter. Saya bisa merasakan bagaimana dahsyatnya Haiyan menghancurkan kota ini.
Di balaikota, tenda-tenda relawan, LSM, media, berjejer. Di sini pemerintah kota juga menyiapkan segala kebutuhan warga. Tak jauh dari balaikota, ada tempat identifikasi mayat yang dilakukan oleh tim independen dari pemerintah dan relawan.
"Untuk keluarga yang mencari saudaranya, telah kami siapkan tempat. Kita berikan kesempatan melihat jenazah yang ada," tutur Fernandez, staf pemerintah kota Tacloban, City Hall, Leyte.
Setelah 2 jam di balaikota, kami kembali ke bandara. Kami akan pulang ke Cebu menggunakan pesawat komersial. Di perjalanan, saya melihat sejumlah bocah memotong kayu, mengambil air, atau mengangkat material dan lain-lain. Miris.
Pukul 14.00, kami terbang ke Cebu menggunakan maskapai penerbangan lokal. Di Tacloban, ada 4 maskapai komersial yang beroperasi, namun harga tiket melambung 2 kali lipat dari harga normal. Bencana memang mengubah banyak hal. (Yus)