Jurus Agar KL Tak Macet `Sepanjang Masa` Menurut PM Malaysia

Kuala Lumpur juga menghadapi masalah kemacetan. Namun, bisa dibilang, masih manusiawi. Tak terlalu bikin stres.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 18 Des 2013, 06:00 WIB
Diterbitkan 18 Des 2013, 06:00 WIB
pm-malaysia-131217d.jpg
Seperti halnya kota-kota besar lain di dunia, ibukota Malaysia, Kuala Lumpur (KL) juga menghadapi masalah kemacetan. Namun, bisa dibilang, masih manusiawi. Tak terlalu bikin stres.

Setidaknya, tak ada sopir kendaraan umum yang cuek menanti penumpang di tengah jalan. Atau, tiada perempatan jalan yang semrawut bak kabel kusut karena semua orang tak mau mengalah dan menganggap rambu lalu lintas sekedar pelengkap jalan.

Sebab yang lain, Kuala Lumpur punya sistem transportasi publik yang baik. Ada bus kota yang nyaman, Light Rail Transit (LRT), monorail, KTM Komuter, KLIA Ekspres, dan KLIA Transit. Semua itu membuat bepergian terasa nyaman lagi cepat. Tak ada alasan deg-degan bakal ketinggalan pesawat saat menuju bandara.

Dan, tak cuma itu. Kini sedang dibangun jalur MRT bawah tanah yang juga dikenal sebagai MRT Lembah Klang (KVMRT) yang bakal rampung 2016 mendatang. Makin banyak pilihan!

Kepada Liputan6.com dan SCTV, Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Tun Razak mengatakan, pembangunan infrastruktur terutama bidang transportasi menjadi yang utama di negerinya.

"Mana-mana bandar metropolis modern memerlukan sistem pengangkutan awam yang efisien, mampu digunakan oleh rakyat ramai, reliable," kata PM Najib di kediaman resminya di Komplek Seri Perdana, Putrajaya.

Dan Kuala Lumpur harus diatur sedemikian rupa. "Kalau tidak, KL akan macet sepanjang masa," kata PM Najib.

Dengan menyediakan transportasi massal yang baik, masyarakat akan beralih dari mobil pribadi ke kendaraan umum.  "Kita mau mengalihkan 30-40% penghuni Kuala Lumpur (ke kendaraan umum). Itu akan mengurangkan kadar mengguna jalan raya," kata PM Najib, dalam Bahasa Melayu yang diterjemahkan sebagian dalam Bahasa Indonesia.

Di tempat dan saat berbeda, Zaidi, seorang sopir taksi sibuk menawarkan jasanya kepada calon penumpang. Tak semua taksi di Malaysia menggunakan argo, harga dipatok sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pakai tawar menawar.

Saat Liputan6.com bertanya, apakah keberadaan transportasi massal mengancam profesinya, pria asal negara bagian Perak itu menjawab: tidak.

"Taksi tak akan mati di Kuala Lumpur. Kami masih bisa hidup," kata dia, Selasa 17 Desember 2013. "Ada juga orang nak cepat-cepat dan maka dari itu mereka guna taksi."

Apalagi, kata dia, biaya parkir di Kuala Lumpur sama sekali tidak murah. "8 ringgit sejam pertama, jam berikut 4 ringgit," kata dia.

Dengan kurs teranyar, sejam parkir di Kuala Lumpur harus merogoh kocek sekitar Rp 30.000, dan biaya per jam berikutnya Rp 14 ribu. Beda jauh dengan Jakarta.

Zaidi menambahkan, meski gencar membangun transportasi massal, pemerintah tak lantas mengabaikan para sopir taksi. “Kami mendapat jatah ban setahun 4 buah, dengan harga murah 560 ringgit,” kata dia.

[Baca juga: Jokowi Akui Jakarta Ketinggalan dari Kuala Lumpur dan Bangkok]


Pindahkan Ibukota Pemerintahan





Salah satu terobosan lain yang berhasil dilakukan Malaysia adalah memindahkan ibukota pemerintahan dari Kuala Lumpur yang padat ke Putrajaya.

Pusat pentadbiran, demikian Putrajaya disebut dalam Bahasa Malaysia,  dibangun tahun 1999, dimulai dari nol di bekas ladang sawit seluas 46 hektar. Jaraknya 25 kilometer dari Kuala Lumpur, yang makin terasa pendek karena didukung jalan lebar dan mulus serta sistem transportasi yang baik.

PM Malaysia mengakui, keputusan untuk memisahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur memberikan banyak manfaat. "Karena ada tempat yang kita khususkan untuk pentadbiran," kata dia. Segala urusan administrasi dan pemerintahan makin efisien.

Dalam kasus Malaysia, tambah PM Najib, ibukota pemerintahan sengaja ditempatkan tak jauh dari Kuala Lumpur.

"Jadi ada sinergi di antara Putrajaya dan Kuala Lumpur. Berbeda dengan Brasil, yang mewujudkan Brasilia jauh dari Rio de Janeiro dan Sao Paulo." Juga tidak seperti Canberra dan Sydney di Australia.

"Kita mendirikan pusat pentadbiran dalam lingkungan setengah jam saja dari KL. Ini berarti bahwa urusan komersial, sosial, kerajaan (pemerintahan) tak terganggu, saling sokong-menyokong," kata PM Najib.

Mungkin pengalaman Malaysia bisa jadi masukan untuk Indonesia. Mendengar itu, PM Najib balik bertanya, "Ada rencana pindah ibukota di Indonesia?"

Ada. Tapi baru wacana, Datuk Seri…(Ein/Rmn)

[Baca juga: Malaysia Punya Putrajaya, Kapan Indonesia Pindah Ibukota?]

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya